Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Matahari sudah berada pada puncak tertingginya siang ini, tapi Yeji masih enggan untuk sekedar bangun dari tempat tidurnya. Tubuhnya lemas, tenaganya pun habis terkuras bersama air matanya yang menetes kemarin malam.
Lama wanita itu berbaring melihat langit-langit kamar, hingga rasa lapar mengetuk perutnya. Oh, harusnya dia tidak lupa jika ada jiwa lain yang harus dia beri asupan.
Dengan langkah gontai, Yeji berhasil mencapai dapur lalu melihat sisa makanan yang sempat ia buat pagi-pagi buta untuk suaminya. Yeji tentu tidak lupa kewajibannya walaupun hatinya masih dongkol pada lelaki itu.
"Aegi, apa menurutmu papa sejahat itu? Dia menyebalkan, bukan?", monolognya sambil mengelus perut buncitnya.
Pikirannya melayang akan kalimat yang baru dia dengar beberapa menit yang lalu,
"Aku didepak dari keluargaku"
Apa karena hal itu dia sama sekali tidak melihat orang tua Jeno saat mereka menikah? Apa kuliah di Busan adalah sebuah pelarian?
Semakin Yeji memikirkannya, semakin dia akan tenggelem dalam rasa penyesalan. Wanita itu tentunya sangat menyesal karena sudah merebut masa depan suaminya tapi siapa yang harus dia salahkan? Anaknya yang belum lahir? Atau sebuah malam panas yang mereka lalui dulu?
Satu bulir air matanya jatuh turun, luruh bersama luka yang dihidupkan kembali. Rasanya perih sekali sampai membuka mulut pun rasanya akan sia-sia karena suranya habis berlari bersama tawanya yang hilang. Yeji hanya gadis remaja yang dipaksa dewasa tanpa orang tua disampingnya, jadi dia bisa apa selain menangis?
Ting!
Yeji menolehkan kepalanya, mengira-ngira siapakah tamu yang akan berkunjung ke rumahnya. Sangat tidak mungkin itu Jeno, karena pria itu akan langsung masuk tanpa membunyikan bel.
"Untunglah kamu baik-baik saja, Yeji!", wanita paruh baya yang berada di depan pintu flatnya itu langsung menyerbu Yeji dengan pelukan begitu pintu terbuka.
"Aku sangat mengkhawatirkan keadanmu karena kamu tidak datang ke butik lagi", wanita pauh baya itu Nyonya Jung dengan raut kekhawatirannya sukses membuat hati Yeji menghangat.
"Ayo masuk dulu, Nyonya", Nyonya Jung hanya mengangguk senang lalu ikut masuk ke dalam flatnya.
"Jadi, apa sesuatu terjadi padamu akhir-akhir ini? Apa ada hal yang mengganggumu, Yeji?"
"Sebenarnya aku dan suamiku sedang bertengkar, aku tidak tahu haruskah aku mengatakan ini pada anda atau tidak tapi ya, begitu kami sedang dalam hubungan yang tidak baik dan dia juga melarangku bekerja"
"Jadi suamimu sudah tahu jika kamu bekerja, ya?"
"Maafkan aku Nyonya Jung, aku tahu pasti sangat merepotkan memiliki karyawan sepertiku. Aku janji aku akan membalas kebaikanmu tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat"