Gadis itu sedikit canggung memasuki mobil mewah hitam legam itu. Ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun ia tidak sedekat ini dengan keluarga Parves. Kale juga tidak melewatkan tatapan penuh tanya dari para karyawan yang sebagian hari ini bekerja di akhir pekan. Wajar, sekian tahun mereka tidak pernah melihat Kale dekat dengan seorang laki-laki terlebih yang datang bersama ibunya. Terlepas dari itu, pertanyaan kenapa atas kejadian belakangan ini, bagi para karyawan yang kala itu memergokinya terjawab sudah tanpa harus Kale jawab dengan kalimat. Bahwa memang dulu pernah ada hubungan khusus antara boss wanitanya dengan clien barunya, Kaffa Parves.
Kale terdiam kaku ketika bukan Nyonya Herlin yang mengisi kursi kosong di sampingnya. Malah, wanita itu mengambil duduk di samping kemudi. Tinggal Kaffa yang dengan senyum tipis, duduk dengan santai di samping Kale. Tidak ada kekakuan di wajahnya seperti yang ia jumpai beberapa kali sebelumnya. Sesuatu yang beda itu malah mengantarkan Kale pada ingatan lama yang sengaja ia lupakan. Sebuah rasa bersalah karena memutuskan meninggalkan Kaffa yang selalu baik dan sangat mencintainya. Kalau diingat dan ada kesempatan untuk memutar kembali pada titik waktu itu, Kale pasti akan bersikeras menyusulnya ke London kala itu, dengan keberanian yang ia miliki sekarang.
Kaffa adalah satu-satunya orang yang berada di barisan paling depan ketika ada yang mengganggunya. Ia yang paling mencintainya dibanding besarnya ia mencintai Kaffa. Dan, Kaffa adalah satu-satunya lelaki yang ia kenal dekat hingga ia tahu bahwa Kaffa akan merasa kesulitan jika jauh dengannya, apalagi berpisah.
Sesaat Kale menghela napas berat, menepis semua ingatan itu lalu membuang wajah ke luar jendela. Ia kembali mematri dirinya pada kenyataan yang sebenarnya. Semua sudah berbeda dan semua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Tidak seharusnya ia mengingat kembali masa itu hanya karena mendapati Kaffa yang hangat di siang ini.
"Kale, kamu kapan ada waktu?" tanya Nyonya Herlin dengan kepala menengok ke belakang. Sementara mobil sudah meninggalkan Galeri beberapa ratus meter.
"Untuk?" tanya Kale tak mengerti. Siapapun pasti akan gelagapan ketika dalam suasana hening tiba-tiba diberi pertanyaan demikian.
"Main ke rumah. Nggak kangen?"
Seketika Kale terdiam pias. Rasanya tenggorokan mengering. Sekilas, Kale hanya bisa memaksakan sebuah senyuman. Ia hanya menjawab seperlunya tanpa mengijinkan mulutnya melempar tanya untuk menghindari hal yang lebih ia takutkan. Terlibat kembali dalam pusaran keluarga Parves.
"Kapan-kapan kamu wajib mampir ke rumah. Rumahnya masih yang dulu kok," ujar Nyonya Herlin.
Rumahnya masih di alamat yang sama. Itu artinya masih di kawasan elite Pondok Indah.
"Oh, masih alamat yang lama? Gampang, Tante. Nanti saya mampir," jawab Kale berusaha tetap santai. Namun jawaban Kale membuat ibu dan anak itu menoleh padanya dengan kerutan di kening. Seperti memperingatkan adanya kekeliruan dari jawabannya.
Kale mengatupkan rahangnya. Ia menghela napas singkat setelah beberapa saat baru menyadari dimana letak kekeliruannya.
"I-iya, gampang, Mama. Kesayangan Kale. Nanti kalau ada waktu senggang, Kale pasti mampir ke rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet Again
RomanceSiapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam siapa Kale. Hingga kemudian, bibirnya tersenyum menyeringai. Will you ask me, why am I look...