Butuh keberanian tersendiri untuk memasuki gedung perusahaan yang menjulang tinggi itu. Apalagi jika secara kebetulan menemui kesialan bertemu dengan anggota keluarga Parves atau malah Tuan Rowi Parves sendiri. Meskipun sedikit beruntung karena anak perusahaan itu menempati sektor belakang di lantai dasar, namun tetap saja ketakutan itu ada. Belum lagi ia harus berhadapan dengan receptionist anak perusahaan itu yang menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan yang menurut Kale sedikit kurang ramah. Namun Kale menahan diri untuk sedikit lebih bersabar menghadapinya."Mister Kaffa sedang ada meeting dan baru saja dimulai. Dan tidak bisa bertemu begitu saja kalau belum ada appointment dengan Mister Kaffa. Minimal, sehari sebelumnya harus sudah membuat janji." Lagi-lagi wajahnya kaku bahkan terkesan kurang ramah. Batin Kale menjerit, memangnya siapa yang sukarela menemui Kaffa?
"O, okay. Kalau begitu bisa diterima invoice dan barangnya? Saya juga minta tanda tangan untuk STTB," jawab Kale tidak mau ambil pusing. Ia meletakkan kotak karton berisi logo art di meja receptionist lalu menyodorkan surat tanda terima barang.
"Selamat pagi, maaf. Mungkin ibu bisa menunggu sebentar? Maaf untuk kelancangan rekan saya. Karena belakangan ada seorang wanita yang kerap sekali datang untuk bertemu dengan Mister Kaffa. Kemudian Mister Kaffa berpesan kepada kami untuk tidak sembarangan menerima tamu wanita di luar appointment." Seorang wanita datang dari dalam sedikit tergesa memberikan tatapan peringatan kepada receptionist tersebut. Kale bisa menyimpulkan jika wanita ini atasan dari receptionist tersebut.
"Tidak apa-apa. Saya mengerti dengan peraturan setiap perusahaan. Kalau saya boleh tahu, kira-kira masih lama? Saya masih ada janji lain setelah ini."
"Sepuluh menit lagi sepertinya. Tadi pagi Mister sudah pesan agar kalau ibu datang, mohon agar menunggu sebentar."
Kale mengangguk singkat kemudian beranjak mengikuti arahan wanita itu menuju ke sebuah ruangan. Kalau saja ada yang tahu, saat ini detak jantungnya seperti melompat-lompat tak beraturan. Bukan gugup akan bertemu dengan Kaffa. Tapi lebih pada rasa khawatir jika bertemu dengan ayahnya Kaffa. Itu adalah hal yang sangat tidak ia inginkan.
Gadis itu bahkan tidak bisa duduk dengan tenang di sebuah sofa kulit berwarna hitam. Ruangan besar dengan dominasi warna hitam itu seolah menambah rasa kegelisahannya. Ia sangat ingin cepat-cepat keluar dari gedung rasa neraka itu. Sial! Gadis itu hanya bisa mengembuskan napas gusar untuk mengurangi kadar gelisahnya. Sepuluh menit pun rasanya seperti satu jam. Lama.
Ia segera menoleh ketika pintu tersebut terbuka. Seseorang dengan setelan jas masuk tanpa menoleh ke arahnya menuju ke meja kerjanya. Bahkan sang asisten berjalan cepat demi menyusul langkah laki-laki itu untuk berbisik jika ada Kale di sana. Namun laki-laki itu seolah tidak peduli. Mendapati sikap konyol Kaffa, Kale mengangkat alis sebelah. Ia tertawa kecil lalu beranjak dari duduknya.
"Selamat pagi, Tuan Kaffa. Mungkin saya datang di waktu yang kurang tepat. Tapi saya datang untuk memenuhi permintaan anda yang meminta pada karyawan saya agar saya sendiri yang mengantar langsung pesanan anda. Silakan, diterima dengan baik berikut invoice dan tanda terima."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet Again
RomanceSiapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam siapa Kale. Hingga kemudian, bibirnya tersenyum menyeringai. Will you ask me, why am I look...