Laki-laki tua itu tidak memilih menu yang sulit. Hanya satu porsi nasi dan ayam hainan sebagai menu utama makan siangnya. Wajahnya kali ini terlihat lebih menghangat. Kale merasakan ketegangannya memudar perlahan. Apalagi ketika Hanggian kembali melanjutkan nostalgianya. Marianne, istri tercintanya meninggalkannya tidak lama setelah kepergian Rowi Parves, putra satu-satunya. Sebenarnya, Hanggian memiliki tiga anak. Namun, kedua putri kembarnya, meninggalkannya di usia yang masih remaja dalam kecelakaan bus sekolah kala itu.
Dalam diam, Kale menilai jauh di dalam diri kakek itu ada banyak rindu dan kesepian. Rindu untuk Marianne dan sepi hidup sendiri. Hanya saja, Hanggian bersembunyi di balik kesan kejam dan otoriter yang sudah mendarah daging.
"Apa di hidupmu hanya ada cucuku?" tanya Hanggian tiba-tiba. Padahal Hanggian baru saja sedang bercerita bagaimana besarnya cinta untuk mendiang Marianne. Jujur saja, Kale gelagapan.
"Mungkin. Atau karena saya nggak mempedulikan hal lain selain sibuk bersembunyi lalu bertahan hidup," jawab Kale berterus terang sekaligus menyindir.
Hanggian terkekeh, mengangguk-angguk kecil. Tangannya kembali menyuap makanannya dengan santai. Seperti sedang sangat menikmati acara makan siangnya.
"Apa aku semengerikan itu?" gumam Hanggian memperlambat kunyahannya.
Kale tersenyum kecut. Bagaimanapun ia dulu tidak terlalu takut menghadapi Hanggian. Yang ia takutkan adalah menghadapi Rowi Parves. Hingga kemudian Kota Paris menyadarkannya bahwa Rowi Parves tidak ada apa-apanya dibandingkan Hanggian Parves. Dan kini, Kale tahu masih ada yang lebih mengerikan lagi, mendiang ayah Hanggian. Hahah?! Mengapa Kale harus menghadapi kekonyolan ini?
"Bisa dibilang sangat mengerikan," jawab Kale menyimpan nada jenaka, "Bahkan orang-orang Anda sampai tega membuat Kaffa babak belur."
Mata Kale menerawang, mengingat kembali beberapa kejadian yang membuat Kaffa babak belur. Hanggian pernah dengan tegas bicara bahwa dirinya perlu mendisiplinkan Kaffa. Itu membuat Kale sempat merasa mantap untuk meninggalkan Kaffa demi Kaffa tetap baik-baik saja.
"Ya. Terkadang itu perlu agar dia tahu batasan. Ah, tapi kamu dengan mudah membalikkan keadaan," sahut Hanggian geleng-geleng kepala. Ia sedikit merasa tidak adil, bagaimana bisa Kale meluluhkannya dengan mudah. Jika saja Rowi masih hidup, putranya itu pasti akan tertawa mengejeknya.
"Tapi saya nggak ada niat untuk membalikkan keadaan. Apalagi sampai anda merestui saya. Niat saya..."
"Opa," potong Hanggian.
Kale terbungkam, menelan ludah susah payah. Hanggian memintanya memanggil dengan sebutan Opa. Demi apa? Woah! Mulut Kale kini sedikit terbuka. Sama sekali tidak menyangka jika ia akan sampai pada titik ini. Sesaat, Kale tersenyum canggung. Sama seperti ketika Nyonya Herlin memintanya kembali menyebut dirinya dengan kata Mama pada pertemuan pertama setelah sekian lama tidak bertemu.
"O-pa," tutur Kale sedikit mengeja masih dengan rasa canggung.
"Itu bagus. Aku tahu niatmu. Dan luluhnya aku adalah hadiah untuk keberanianmu," katanya dengan wajah puas, seiring dengan napas lega dari Kale.
Ia baru mengambil ponselnya, akan mengabari Kaffa saat Hanggian beranjak ke toilet. Benaknya bicara, ia perlu mengabari bahwa semua baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi sampai mengharuskan Kaffa menjemputnya. Namun niatnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Kale mengangkat wajah, menemukan Kaffa dengan raut wajah tak terbaca. Laki-laki itu tidak banyak bicara, hanya meraih tangan Kale, mengajaknya untuk meninggalkan tempat itu.
"Ngapain?" tanya Kale menahan diri dari duduknya.
"Pulang. Jangan bikin orang jadi terlalu khawatir. Kamu nggak tahu kakekku," ucap Kaffa lirih penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet Again
RomanceSiapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam siapa Kale. Hingga kemudian, bibirnya tersenyum menyeringai. Will you ask me, why am I look...