Traktir makan siang? Makan malam selamat datang? Kale bergidik. Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemen, gadis itu belum mampu memahami teka-teki yang diberikan Hanggian Parves. Ia melangkah linglung menuju ke flatnya. Sebenarnya apa yang diinginkan dari laki-laki tua itu?
Tidak cukup dengan membuat kegelisahan Kale hingga susah untuk tidur, Hanggian Parves kembali membuat gadis itu menahan debaran keras. Rasa was-was kembali menghampirinya ketika ia bangun di pagi hari, mendapat telepon dari asisten pribadi Hanggian bahwa laki-laki tua itu menginginkan kedatangannya untuk makan siang hari ini. Bukan masalah janji traktir makan siang. Tapi, teka-teki kemarin saja belum terpecahkan.
"Selamat pagi, Miss Kale," sapa Dewi lengkap dengan tatapan tanda tanya ketika Kale memasuki Galeri. Wajahnya terlihat kusut dan lelah. Tidak biasanya Kale berpenampilan seperti ini di mata karyawannya. Ia pun datang lebih siang dari biasanya. Pukul sepuluh lewat.
"Pagi, Dew. Bisa nggak, hari ini saya nggak ketemu orang dulu?" ucap Kale lesu menuju ke ruang kerjanya.
"Baik, Miss," sahut Dewi, mengangguk patuh.
Kale kemudian duduk tertunduk lesu. Tangannya mengusap wajahnya lalu merambat meremas pelan rambut panjangnya. Ia berdiam sendiri di ruangannya untuk beberapa saat sebelum mencoba untuk konsentrasi bekerja. Rasanya sulit. Apalagi bayangan Kaffa dan Hanggian Parves datang silih berganti. Gadis itu menghela napas kasar. Ia masih belum mengerti, mengapa ia harus berhadapan lagi dengan dua laki-laki beda generasi itu. Sialnya dalam situasi yang sulit.
Baru setengah jam ia mendapatkan kembali konsentrasinya, Dewi membuka pintu ruangannya dengan takut-takut. Dan dua orang secara bersamaan masuk seiring dengan pintu yang terbuka. Kale mengangkat wajahnya dengan penuh rasa kaget.
"Jangan menyentuh dia atau kehidupannya, aku mohon!" Suara itu lantang memenuhi ruangan Kale. Beruntung, Dewi segera menutup kembali. Yang jelas di kubikel sana pasti banyak kepala yang berkumpul, sedikit menyembul sambil saling menerka kebenaran yang terjadi.
"Memangnya kenapa kalau aku ingin bertemu dengannya? Apa ketakutanmu itu beralasan?" tantang Hanggian dengan suara dingin. Dinginnya itu mengesankan hal mengerikan. Kale yang sedang duduk hanya bisa menelan ludah susah payah. Air es seperti sedang mengguyur di wajahnya.
"Sangat beralasan. Anda hanya akan memisahkan dia dan Kaffa. Cukup, cukup sekali saja. Kenapa sulit membiarkan Kaffa hidup dengan pilihannya? Harus gimana lagi supaya Anda membebaskan Kaffa?" tanya Nyonya Herlin. Matanya kini berkaca-kaca, memohon dengan kerendahan hati agar Hanggian berhenti.
Kale sendiri tidak tahu harus bagaimana. Ini pula pertama kalinya Hanggian Parves menginjakkan kaki di Galeri milik Kale. Dilihatnya Hanggian tetaplah Hanggian. Wajah datar cenderung dingin tanpa ada senyum sedikitpun. Kesan ramah sangat jauh dari laki-laki tua itu.
"Menunggumu mempertemukan aku dengannya, rasanya sia-sia. Kakiku masih sanggup untuk menemukannya sendiri. Atau bahkan tanganku pun masih sanggup untuk menyeretnya ke hadapanku."
"Papa, please." Nyonya Herlin memejamkan matanya ketika menyebut kata Papa. Bahkan nyaris tak terdengar.
Hanggian menatap Nyonya Herlin. Tatapan yang sulit untuk diartikan. Lalu beralih menatap Kale.
"Urusanku dengan anak kecil itu belum selesai. Bahkan baru dimulai kemarin. Bukan begitu, Kalesha?"
Kale tidak mengangguk. Tidak juga menggelengkan kepala. Ia hanya diam menahan debaran keras di dada. Napas sempit kembali menghinggapi dirinya. Ia menonton dua orang itu saling berdebat.
"Kale tidak salah apa-apa," ujar Nyonya Herlin.
"Tapi dia sudah memulai permainan. Dan aku tertarik untuk mengikutinya," katanya menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet Again
RomantikSiapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam siapa Kale. Hingga kemudian, bibirnya tersenyum menyeringai. Will you ask me, why am I look...