Kedua kalinya di bulan ini, Kale secara berturut-turut tidak pulang ke rumah. Ia memarkirkan mobilnya di area parkir apartment. Ia baru akan keluar ketika sebuah panggilan masuk dari ibunya.
"Nak, kamu nggak pulang lagi? Sibuk banget?"
"Iya, Kale baru pulang, Bunda. Besok Kale pulang."
"Ya udah, jangan lupa istirahat yang cukup. Vitamin masih ada? Ayah nanya kamu terus."
Kale tertawa lirih. Ia mengerti benar bagaimana kekhawatiran seorang ayah pada anak perempuan satu-satunya.
"Aku baik-baik aja. Bilang sama ayah, besok weekend aku pulang. Bawa lapis legit kesukaan ayah. Oke?"
Terdengar ibunya sedang menyampaikan ucapan Kale pada ayahnya yang tengah menonton talk show di TV. Tidak lama tawa renyah ayahnya terdengar, bersamaan dengan derai tawa ibunya.
"Benar, ya, kamu pulang? Besok Bunda belanja. Bikin soto kesukaan kamu. Besok setengah hari kan kamu?"
"Iya, Bunda. Sampai jumpa besok. Ada Nadia mau ikut, boleh?"
"Boleh, dong. Bunda tunggu ya?"
Kale memasukkan kembali ponselnya. Sesaat ia mengembuskan napas panjang, seperti menyemangati diri. Ayah ibunya tidak boleh tahu jika Kaffa dan ibunya sudah menemukannya. Nadia benar, dia tidak boleh takut pada siapapun. Ia segera mengambil tasnya, bersiap untuk keluar dari mobil, menuju lift yang akan mengantarkan ke flatnya. Ia baru akan keluar, dengan satu kaki sudah menapak di lantai, ketika sebuah tangan menahan pintu mobil.
Tubuh Kale menegang kaku. Ia tidak berani menggerakkan kepalanya apalagi mencuri pandang. Dari harum parfum yang menyeruak, Kale tahu siapa seseorang yang kini bukan hanya menghalangi dengan tangannya, tapi juga mengurung dengan tubuhnya. Bagaimana bisa laki-laki itu berada di area apartment-nya?
"Aku udah tahu kamu tadi ketemu Mama. Sound nice. Very nice. After this, jangan berlari lagi atau sembunyi. Kale, you got me from the first time we met."
Kale terdiam untuk sesaat, lebih tepatnya, menahan diri, mengumpulkan keberaniannya untuk menatap Kaffa. Tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya Kale ketika berhadapan dengan laki-laki yang terus menemaninya dari kecil hingga dewasa, lalu harus berakhir begitu saja dengan alasan hanya Kale saja yang tahu.
Gadis itu menoleh, sedikit mengangkat wajahnya setelah menarik napas panjang. Ia menatap Kaffa dalam jarak dekat, tanpa ekspresi.
"Terus kenapa memangnya? Saya juga nggak harus berlari atau sembunyi. Terlebih dari kamu. Karena kita tidak ada hubungan apa-apa lagi selain kamu adalah customer saya untuk saat ini," jawab Kale santai. Pura-pura santai lebih tepatnya. Padahal di dalam dada sudah berdebar keras tak terkendali.
Sudut bibir Kaffa terlihat tertawa sinis. Ia mendekatkan wajahnya lalu berbisik tepat di wajah Kale. Kaffa yang ia hadapi sama mengerikan ketika dulu ia melihat Kaffa yang selalu mengusir mereka yang mengganggu Kale saat sekolah dulu. Entah sekedar mengganggu, atau ingin pedekate sewajarnya anak remaja baru mengenal jatuh cinta.
"Bagus kalau gitu," katanya masih dengan sudut bibir terangkat miring, tapi kali ini lengkap dengan tatapan ingin menguliti. "Mungkin benar, hubungan adalah satu-satunya hal yang bisa mengikat kamu sepenuhnya di hidupku. As your wish, Kale."
Tenggorokan Kale serasa mengering dalam sekejap mendengar penuturan Kaffa. Ah sial, Kaffa menjebaknya dalam kalimat Kale sendiri. Gadis itu mengakhiri tatapannya dengan membuang wajah ke arah lain. Jelas terlihat, ia sibuk menata diri dari rasa terkejut. Ibarat kata, pelornya malah berbalik arah mengenai dirinya sendiri.
"Kaffa!"
"Nggak semudah itu, Kale!"
"Iya! Kamu yang mempersulit. Bisa nggak? Kita berakhir tanpa harus ada yang perlu kembali lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Meet Again
RomansaSiapa yang tidak mengenal Kalesha Pratista? Seorang desainer artwork kawat tembaga? Nama Kale membuat Kaffa Parves tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam siapa Kale. Hingga kemudian, bibirnya tersenyum menyeringai. Will you ask me, why am I look...