Bab 22

6K 665 16
                                    

"Kalau ada apa-apa, telepon aku langsung ya," pesan Kaffa ketika pagi itu mengantar Kale ke Galeri setelah semalam sudah beristirahat cukup di kamar pribadi Kaffa. Gadis itu mengangguk dengan senyum tipisnya lalu turun dari mobil. Langkahnya terhenti begitu masuk Galeri. Ia berbalik menatap ke luar dengan sorot mata tak terbaca.

Kale hanya berdiri diam, mengamati mobil hitam mengkilap itu perlahan meninggalkan pelataran parkir Galerinya. Entah apa yang dirasakan saat ini. Yang jelas, beberapa kali Kale menarik napas sebelum beranjak masuk menuju ke ruangannya. Langkahnya jelas lunglai tanpa semangat. Kali ini bukan tubuhnya saja yang lelah. Pikiran dan hatinya juga meminta untuk diistirahatkan.

"Selamat pagi, Miss Kale," sapa Dewi menyambut kedatangan Kale.

Gadis itu hanya mengangguk dengan senyuman tipis lalu masuk ke ruangannya. Ia mengucap terima kasih dengan bisikan saat Dewi membukakan pintu ruangannya. Selanjutnya Kale duduk di kursinya tanpa tenaga. Matanya berpejam, di sela mengatur napas. Selama beberapa saat ia hanya berdiam di kursinya, berputar-putar lambat.

Melihat Kale yang kehilangan semangat, Dewi menutup kembali pintu ruang kerja Kale. Ia kembali ke kubikelnya dengan alis bertaut, seperti memikirkan sesuatu hal serius. Pagi ini baru ada Winda yang sudah datang.

"Kenapa, Dew?" tanya Winda sambil mempersiapkan laptopnya untuk bekerja.

"Miss Kale kenapa ya? Kayak yang under pressure gitu. Gue dari kemarin hari terakhir di Paris tuh mikirin, ada masalah apa di Galeri. Seinget gue, nggak ada apa-apa," ucap Dewi bersidekap. Mimik mukanya masih terlihat sedang berpikir keras.

"Emang nggak ada. Semua aman kok. Eh, kemarin Dika hampir salah antar. Customernya salah ngasih alamat. Itu aja paling. Tapi masa sampai harus di pikirin? Yang waktu itu Maria salah design aja nggak begitu keras mikirinnya." Winda berbicara dengan pelan agar tidak terdengar hingga ke ruangan Kale.

"Berantem sama Pak Kaffa kali ya. Kemarin gue disuruh pulang bareng asistennya. Tahu nggak? Gue berasa jalan sama patung. Kaku dan nggak banyak omong. Nggak jauh beda sama Bos nya,"  cerita Dewi berapi-api.

"Tapi ganteng, kan?"

Mendadak keduanya diam, seketika kepalanya menoleh ke sumber suara. Winda dan Dewi bungkam dengan ekspresi kaku. Kale hanya tertawa lirih. Sebetulnya ia ingin tertawa lepas melihat dua karyawannya mendadak ciut kala ketahuan membicarakan dirinya. Tapi mengingat hari ini ia tidak memiliki banyak tenaga, ia hanya tertawa lirih.

"Miss, ada yang bisa saya bantu?" tanya Dewi tergagap.

"Nggak ada. Saya kayaknya mau keluar sebentar. Beberapa file nanti kamu kirim email ke saya, bisa kan? Kalau ada apa-apa telepon ya, Dewi?"

"Baik, Miss."

Dewi menatap kepergian Kale dengan sekian banyak pertanyaan. Ia menggigit bibir dalamnya, menatap punggung itu hingga lenyap di tikungan koridor.

"Miss Kale balik nggak ya?" gumam Dewi.

"Bukannya biasanya lama kalau pamit kayak tadi. Kenapa emangnya?"

"Nggak. Ngeri kalau Pak Kaffa datang. Auranya itu lho, bikin ciut," desah Dewi terduduk pasrah.

***

Kale meninggalkan Galerinya dengan taksi online yang dipesannya beberapa saat lalu. Semenjak kemarin ia sama sekali tidak bisa berpikir dengan baik. Selama perjalanan ia hanya duduk termenung. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti, Kale hanya butuh untuk pulang. Namun kali ini ia tidak memberitahu Dewi atau sahabatnya, Nadia jika ia akan pulang. Mungkin untuk beberapa hari. Sampai Kale kembali mendapatkan ketenangannya. Lebih tepatnya, sampai ia merasa sudah baik dan siap menghadapi semuanya.

After We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang