part 8

2.1K 192 5
                                    

Bismillah

                  RUMAH NENEK

#part 8
#by: R.D.Lestari.

Bagas yang masih tersadar menarik tangan Ghandy dan berbalik. Berlari sekuat tenaga menuju kamar Mama.

Dengan napas terengah, mereka meniti anak tangga, tapi, saat akan sampai, seseorang sudah berdiri dan menyeringai ke arah mereka.

"Mau ke mana, kalian, hah?"

"Kak ... Kak Ajeng?" desis Ghandy dan Bagas serentak. Mereka menghentikan langkah sejenak sebelum mendekat.

Namun, semakin di perhatikan, Ajeng memperlihatkan gelagat aneh, bola matanya berputar dengan cepat, tertawa cekikikan.

Tangannya melambai menyuruh kedua anak lelaki yang saat itu sudah bergetar ketakutan mendekat.

Bagas menarik tangan adiknya mundur dan menjauh.

"Berbalik, Ghan. Lari kencang. Dia bukan Kak Ajeng!" ucap Bagas dengan saudara bergetar.

"Ba--bagaimana dengan yang lainnya, Kak?"

Sedangkan Ajeng perlahan mengawang dan kakinya tak menginjak lantai. Terangkat beserta rambutnya yang berkibar.

Pranggg!

Kaca di setiap ruangan pecah berkeping-keping dihantam angin kencang hingga butiran air hujan masuk dan membasahi lantai.

Suasana amat mencekam. Ajeng yang semula hanya mengawang, dengan cepat berputar dan kakinya menempel di langit-langit rumah.

"Kak Ajeng! sadar, Kak!" pekik Ghandy.

Ajeng malah tertawa. Wajah nya seketika memucat, urat-urat biru mencuat di pipinya beserta matanya yang hitam penuh dengan tatapan tajam.

Ia menyeringai seolah mengejek dua bocah yang saat ini takut dan bimbang. Ingin pergi tapi tak tega meninggalkan kakak perempuan mereka.

"Dia bukan lagi kakakmu! Ajeng sudah mat*!"

Bagas dan Ghandy tersentak mendengar suara wanita yang serak dan parau, di antara bunyi hujan yang semakin deras dan deru angin kencang.

Seketika mereka menoleh, mata kedua bocah itu membola saat melihat Bi Jumi dengan kepala terbalik kini menempel didinding dan perlahan merangkak ke langit-langit. Ia berancang-ancang menyerang.

Diantara hidup dan mat*, berada dalam situasi genting, dan terpojok. Bagas hanya mampu menangis. Ia benar-benar frustasi.

Berbeda dengan Ghandy, bocah itu malah terlihat komat-kamit meski lirih dengan mata tertutup.

"Eggghh, bocah sial*n!"

Dug!

Tubuh Ajeng menempel di langit-langit kamar dan merangkak mendekati Bagas dan juga Ghandy. Begitu juga Bi Jumi, mereka berhenti tepat di atas kepala kedua bocah itu.

Tubuh Bagas seketika melemah, luruh  dan terduduk. Tangisnya terdengar semakin kencang.

Debaran jantung terdengar semakin kencang, seolah ingin terlontar keluar.

Lidah Bi Jumi mulai terulur keluar, menjilati kepala kedua bocah dengan bau bangkai yang amat menyengat. Air liur berupa nanah menetes hingga ke wajah. Ia begitu menikmati seolah tak sabar untuk meraup kedua kepala dan menelan dengan segera.

Slurrrppp!

"Kepala kalian pasti sangat lezat. Otak itu akan kusedot, rasanya pasti amat gurih," desisnya sembari membuka mulut yang berisi gigi taring dan runcing yang berderet tak beraturan.

Rumah Nenek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang