Bismillah
RUMAH NENEK
#part 3
#by: R.D.Lestari.
Baru saja akan mengguyurkan air, sesuatu seperti jatuh diatas punggung dan benda itu menggeliat. Saat aku meraihnya, ternyata cacing berukuran sebesar kelingking orang dewasa. Jumbo, raksasa.
"Uwaaaa! Ghandy!" aku memekik histeris. Tanpa sadar keluar dari kamar mandi tanpa memakai selembar kain pun.
"Ho, apa?" Ghandy melotot ke arahku. Tak lama ia terkikik dan menunjuk ke arah bawah perutku.
Aku yang masih shock dengan debaran jantung yang tak menentu serta napas yang memburu mengikuti arah telunjuk Ghandy dan menatap bawah perut.
"Astaga!" pekikku saat menyadari tubuh polos tanpa penutup. Seketika aku menutupnya dengan kedua tangan dan mencari penutup.
"Ha-ha-ha, untung aku juga punya. Ga kepayang kalau Kak Ajeng yang lihat, pasti langsung ngacir dia," bocah itu terkekeh meledekku.
"Asem!" makiku.
Aku lalu duduk di pinggir ranjang. Mengelus dadaku dan menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga paru-paru terasa penuh, lalu menghembuskan dengan perlahan.
"Kenapa, Kak? kok ketakutan," tanya Ghandy saat melihatku mulai tenang.
"Ghan, di kamar mandi ada makhluk mengerikan! cacing gede banget!" ucapku dengan bibir bergetar.
Ghandy melongo beberapa saat. Tak lama ia beranjak dan meletakkan ponsel yang sejak tadi ada di tangan nya.
"Yok, lihat. Aku penasaran," ajaknya.
"Gak ah, ogah! geli dan ngeri!" tolakku.
Namun, Ghandy memaksa. Aku pun terpaksa mengikutinya dari belakang. Ia terlihat cukup waspada.
Di ambang pintu kamar mandi ia berhenti. Ku dengar suaranya melantunkan doa.
"Allahumma inni a'uudzubika minal khubutsi walkhabaaits,"
"Yok, masuk, Kak," Ghandy menarik tanganku dan kami masuk bersama.
Kamar mandi ukuran dua kali dua meter itu terlihat lenggang. Tak ada sesuatu pun yang mencurigakan.
Mataku mengedar begitu juga Ghandy. Tak ada apa-apa. Semua baik-baik saja. Merasa tak ada yang janggal, aku dan Ghandy akhirnya keluar.
"Mungkin Kakak tadi cuma halusinasi," tukas Ghandy sambil menepuk bahuku. Bocah sepuluh tahun ini memang terkadang kelakuannya lebih dewasa dari pada aku, kakaknya.
'Apa iya tadi aku cuma halusinasi? tapi semua seperti nyata!
"Lain kali masuk kamar mandi baca doa, ya. Soalnya kamar mandi tempat berdiam jin dan syeitan,"
Aku tercekat mendengar ucapan Ghandy. Menelan air liur susah payah. Benar kata Ghandy, seharusnya masuk kamar mandi baca doa. Apa aku terkena sihir atau di kerjain iblis? mengingat rumah ini penuh dengan misteri.
"Dah, mandi sana. Jangan lupa baca doa. Apa jangan-jangan Kakak tak hapal doa masuk kamar mandi?" Ghandy menyunggingkan senyum smirknya. Matanya memicing seolah menyelidik.
Kali ini aku terdiam. Ya, lupa bacaan masuk kamar mandi. Aku hanya mengangguk malu-malu.
"Makanya, Kak. Ngaji. Ini bisanya cuma nyuruh doang, dianya sendiri ga ngelakuin," sambil ngomel Ghandy melangkah menuju meja dan meraih tas ranselnya. Ia merobek kertas dan menuliskan sesuatu di sana.
Ia kemudian melangkah ke arahku dan menyerahkan secarik kertas. "Nih, di hapalin. Biar ga di ganggu jin," selorohnya.
Sembari mengucapkan terima kasih, aku melangkah ke kamar mandi. Berhenti sejenak tepat di depan pintu kamar mandi dan membaca doa yang ada di kertas. Sebelum masuk, aku menaruh kertas di atas tempat tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Nenek
TerrorKetika Nenek membeli rumah baru yang ternyata menjadi awal dari teror dan hilangnya nyawa!