Part - 05

344 25 0
                                    

Bulan-bulan berlalu. Memang cepat. Tanpa kesadaran. Tapi terjadi. Nyata.

Perut Jan juga sudah membesar. Sudah hamil tua. Dan bahkan sudah mendekati hari melahirkan. Timbangannya bertambah pesat. Berjalan juga sudah susah. Mereka juga sudah tidak tidur di kamar Andra yang berada di lantai dua. Tapi di kamar tamu yang berada di lantai bawah, supaya Jan tidak kesusahan juga meminimalisir kejadian yang tidak ingin terjadi.

"Selamat pagi, Pakmil!"

Jan menatap jengah pada Andra. Semenjak perutnya membuncit, Andra semakin sering menggodanya.

"Ayok, Pakmil. Kita sarapan. Mau aku gendong?"

Jan semakin jengah, sungguh. Rasanya ia ingin melempar kepala Andra dengan sendalnya. "Kegenjetlah perut ku! Gimana sih?"

"Masa?" Andra memasang raut wajah meledek. Semakin menumbuhkan nafsu Jan untuk melemparnya.

"MAH, ANDRA GANGGU AKU!"

"ANDRA! JANGAN GANGGU NAK JAN! MAMAH POTONG NANTI PENISMU!"

Sontak saja Andra menutupi masa depannya dengan tangannya. Ia tidak bisa membayangkan kalau dirinya tidak memiliki penis.

"Kamu memangnya mau aku nggak berpenis, Jan? Nanti nggak ada yang memuaskan kamu di ranjang loh!"

Pipi Jan memerah, "Andra, kamu nyebelin!"

Andra tertawa kencang melihat sikap malu-malu Jan yang tidak berubah sama sekali. Ah, rasanya cinta miliknya semakin bertambah tiap detiknya.

Dikecupnya kening Jan dengan lembut. "Iya-iya, maafin aku bikin kamu kesal pagi-pagi gini. Aku cuma nggak sabar nunggu kamu lahiran."

Dipeluknya tubuh Jan. Tidak bisa rapat seperti beberapa bulan lalu. Tidak apa. Hanya sebentar lagi, setelah anaknya lahir dirinya akan memeluk Jan setiap saat.

"Pagi-pagi pelukan aja. Sarapan dulu sana."

Papah yang tidak sengaja melintasi kamar mereka menegur dengan diselingi godaan. Alhasil pipi keduanya memerah.

"Papah ganggu ah!"

"Ayo, Nak Jan kita sarapan. Biarkan aja dia mendekam di kamar ini. Jatah makannya bisa untuk papah."

Jan tertawa kecil mengikuti Papah mertuanya, meninggalkan Andra yang menggerutu kesal.

"Kenapa lama sekali?"

"Biasa, Mah. Pelukan selamat pagi."

Pipi Jan kembali memerah, biarpun sudah sering tetap saja selalu membuatnya tersipu malu.

Andra datang dan duduk di samping Jan. "Kamu mau aku ambilkan apa?" Tanyanya, tidak lupa dengan senyum tipisnya yang manis. Yang sedari dulu selalu membuat Jan terasa hangat.

"Aku mau roti isi."

"Baiklah, satu roti untuk Pakmil."

Jan menatap kesal pada Andra yang dibalas Andra dengan tawa kecilnya. Mamah dan papah juga terkekeh.

"Ah iya, Nak Jan. Kapan kamu melahirkan dari perkiraan dokter?"

"Dalam minggu ini, Mah."

Mamah mengangguk, lalu tersenyum. "Mamah akan kosongkan jadwal Mamah dalam minggu ini. Mamah akan menemani Nak Jan saja di rumah."

"Terima kasih, Mah. Aku ngerepotin Mamah lagi."

"Astaga Andra! Berapa kali harus Mamah kasih tahu? Nak Jan kan juga anak Mamah, wajar dong seorang anak membutuhkan Mamahnya!"

Hati Jan menghangat. Andra meringis, mengusap tengkuk belakangnya. "Iya sih. Kalo gitu, kamu harus setiap detik ngerepotin Mamah ya!" Pintanya pada Jan. Yang langsung mendapat hadiah tampolan cinta dari Jan.

Angel's like You [end] [republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang