03

713 98 2
                                    


⚠ suicide thoughts

**

Waktu benar-benar berjalan dengan cepat. Setelah sibuk dengan tugas sekolahnya Eric baru pulang jam delapan malam karena harus mengerjakan tugas kelompok dirumah Haechan.

Ia melihat motor Ayunda terparkir didepan rumah begitupun dengan motor milik Jeno, senyum Eric seketika mengembang dan segera berlari masuk. Ia senang jika keluarganya ada dirumah meskipun mereka akan sibuk dengan dunianya sendiri. Eric baik-baik saja dengan itu karena ia hanya tak ingin merasa sendiri dirumahnya yang cukup luas.

Sudah diduga hanya ada Ayunda dan Jeno, sepertinya Ayahnya belum pulang padahal seharusnya sudah berada dirumah dari dua hari yang lalu. kalau kata Ayunda sih begitu. Tapi tak tahu juga, mungkin ada hal yang harus ditangani oleh ayahnya lagi.

Eric mendapati Ayunda dan Jeno tengah asik menonton tv, inginya Eric menyapa mereka tapi keberadaan kembarannya disana membuat Eric merasa canggung. Aneh kan, padahal mereka saudara kembar.

Sampai akhirnya Eric memilih melengos saja melewati mereka untuk pergi ke kamarnya, namun ketika kehadirannya dilihat oleh Ayunda, Eric langsung menghentikan langkahnya setelah dipanggil oleh kakaknya itu.

"Sini duduk dulu, dek." Ujar Ayunda seraya menepuk sofa disebelah kanannya, Eric menurut dan sekarang Ayunda duduk ditengah-tengah adik kembarnya.

"Kakak mau membicarakan soal Ayah," Ayunda berbicara dengan nada pelan dan mendadak perasaan Eric dilanda gelisah, sekilas ia melihat Jeno. Kembarannya itu benar-benar memperhatikan Ayunda, ia juga sepertinya sudah menantikan tentang ini. Penasaran kenapa ayahnya jarang pulang sekarang.

Ayunda membalas tatapan Jeno dan meraih tangannya untuk digenggam, Eric merasa ingin pergi dari sana sekarang. Bukan karena tangannya yang tidak digenggam oleh Ayunda tapi karena ia yakin kakak sulungnya ini akan membicarakan sesuatu yang kurang baik.

"Sebenernya dari minggu yang lalu, Ayah dikeluarkan dari tempat kerjanya dan Kalian tahu sendiri jika Ayah dan ibu itu benar-benar saling mencintai dan mungkin Ayah belum bisa menerima kenyataan jadi untuk beberapa hari kedepan Ayah pergi dulu untuk mencari ketenangan, "

Rasanya Eric ingin memukul tembok, pasalnya Eric, Jeno dan Ayunda juga kesulitan untuk menerima kenyataan tapi apakah Ayahnya memang harus pergi meninggalkan keluarganya juga? Disatu sisi Eric merasa marah pada Ayahnya karena dia dan kakak-kakaknya juga membutuhkan keberadaan Ayahnya itu dirumah.

Disisi lainnya Eric juga merasa bersalah, jika ibunya tak mengalami kecelakaan ketika hendak menjemputnya disekolah mungkin Ayahnya tak akan pergi kemana-mana seperti sekarang.

"Gak papa ya? Kalian bisa ngertiin Ayah kan?" Ayunda menoleh kearah Eric dengan mata merahnya yang sudah dipenuhi oleh air mata. Meskipun begitu kakaknya itu masih saja mencoba untuk tersenyum. Melihatnya membuat Eric sakit hati dan ikut menangis.

Jeno juga terlihat kacau, dia mencoba untuk menahan segala emosinya terlihat dari kepalan ditangannya. Dia bangkit, tatapan tajamnya terarah pada Eric.

"Sini lo." Pinta Jeno dengan tatapannya yang benar-benar menakutkan. Eric hendak bangkit dari duduknya namun Ayunda menahan tangannya untuk tetap duduk.

"Kakak belum selesai bicara Jeno,"

"Eric, ini semua gara-gara lo! Ibu udah pergi selamanya karena lo dan sekarang Ayah! Lo udah ngehancurin keluarga ini! Lo ngerusak kebahagiaan yang ada dirumah ini! Lo..." Jeno menghentikan ucapannya untuk mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh namun terlalu sulit Sehingga sekarang pipinya dibanjiri air mata.

"Gue benci sama lo! gue bukan abang atau kembaran lo lagi! yang berhak untuk keluar dari rumah itu lo bukan Ayah dasar gak tahu malu-"

"Jeno udah!" Teriak Ayunda. Dia berdiri didepan Jeno. Dia kesal dengan semua perkataan yang diutarakan adiknya itu. Kata-kata yang benar-benar membuat Eric tertampar kenyataan sampai akhirnya ingin menenggelamkan dirinya sendiri dilaut.

"Kakak gak seharusnya ngebela dia! Kakak juga benci sama dia kan!? Kakak sadar dong Eric itu yang ngebuat orang tua kita pergi! Meskipun nanti ayah kembali pasti suasananya gak akan jadi seperti semula dan itu salah siapa? Salah lo ric."

Jeno pergi dan tubuh Eric benar-benar melemas, air matanya tak bisa berhenti turun. Ia merasa bersalah sampai rasanya ingin mati. Ayunda menekuk lututnya dilantai meremat jari-jari Eric yang dingin dan basah karena keringat.

"Gak, ini semua bukan salah kamu, Jeno cuma lagi kalut. Sekarang kamu kekamar ya terus mandi nanti kita makan bareng, oke? " ucap Ayunda, ia mencoba menenangkan Eric yang sebenarnya tak begitu membantu.

"Kak aku minta maaf yang Jeno bilang itu bener dan Aku bener-bener minta maaf."

Cepat-cepat Ayunda memeluk tubuh Eric singkat namun dekapannya begitu erat, lalu ia menangkup wajah adik bungsunya itu. "Jeno salah, ini semua bukan salah kamu. meninggalnya ibu itu soal takdir dan Ayah juga cuma pergi sebentar buat nenangin diri, nanti-"

Ayunda mengehentikan ucapannya ketika mendengar suara benda pecah, ia memejamkan matanya sebelum membantu Eric bangkit dari duduknya. "Kamu Kekamar ya biar kakak yang urus Jeno."

Jeno mengamuk dengan membanting benda-benda yang ada disekitarnya, itu terbukti alasannya adalah Jeno yang sudah marah besar dan tak bisa mengontrol emosinya lagi.

"Ayo."

Eric pergi ke kamarnya dan mengunci pintu, ia meluruh jatuh kelantai. Kakinya terlalu lemas untuk berdiri. Ia menekuk lututnya disanameremat kedua telinganya, berharap tidak mendengar raungan tangis Jeno yang begitu menyiksanya. Ia juga menangis sampai dadanya sesak.

"Ayah, Jeno, Kak Ayunda tolong maafin Eric."

Dari tempatnya ia bisa melihat botol obat tidur, ia segera beranjak dan mengambil benda itu, membukanya kemudian menumpahkan seluruh isinya pada telapak tangannya. Eric ingin lenyap saja dari dunia ini karena rasa bersalah yang meracuninya. Mungkin Jeno juga akan merasa lebih tenang karena orang yang membuat keluarganya hancur ini sudah pergi.

"Lo mau ngapain dengan obat-obat itu." Suara itu berasal dari Jendela kamar Eric yang masih terbuka, disana terdapat Sunwoo dengan beberapa buku dan alat tulis ditangannya. Mereka bertetangga dan ia lupa sudah membuat janji dengan Sunwoo untuk mengerjakan PR bersama.

"Gue cape, sunwoo. Rasa bersalah ini bener-bener.."

Eric melihat Sunwoo masuk kedalam kamarnya lewat Jendela, menjatuhkan benda yang ia bawa dari rumah dimana saja begitu pun dengan pil kecil yang ada di telapak tangan Eric. Dia menumpahkannya lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat.

"Gak boleh, lo gak boleh pergi dengan cara begini, Ric."

"Keluarga gue ancur Sunwoo, sekarang Ayah gue pergi dari rumah. Jelas gara gara kehilangan ibu dan itu semua gara-gara gue."

Sunwoo melepas pelukannya, "ini bukan salah lo, bangsat! Ibu lo gak bisa tenang disurga kalo lo kayak gini, Meskipun ibu lo gak disini tapi gue yakin beliau selalu merhatiin lo, Jeno dan Kak Ayunda diatas sana. Dia pengen lo sama sodara lo melanjutkan hidup tanpa ada kesedihan karena dengan begitu ibu lo juga bisa tenang disana."

Eric terus menangis dan Sunwoo membawa pemuda itu untuk duduk diranjangnya, dia mengusap punggung Eric berudaha untuk memberikan ketenangan.

"Gue mohon lo tetep disisni, lo cuma harus nunggu dan lihat kedepannya. Jeno mungkin bisa maafin lo terus kalian akur lagi dan Ayah lo juga pulang dengan dirinya yang lebih lapang dada atau kalau pun enggak, gak papa. lo bakalan terbiasa dengan semuanya dan tolong inget ini gue gak akan pernah ninggalin lo. Gue bakalan jadi temen lo apapun yang terjadi," Ucap Sunwoo dengan tangannya masih berada dipunggung Eric.

"Gue harap sih opsi pertama yang kejadian, amin gak nih?" Tambah Sunwoo.

Eric mendongkak, "Amin."

***

Hidup itu kadang banyak sulitnya tapi mengakhiri hidup sendiri bukan jalan keluar.

Melankolia | Eric & JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang