"Tuan!"
Afifah berlari mendekati Rian yang sudah hilang kendali, mencoba menenangkan pria itu. Panik dan khawatir tersirat jelas di wajahnya. Mata gadis itu membulat sempurna, saat melihat bercak darah yang bercucuran di lantai kamar. Gadis itu mudur beberapa langkah, nafasnya memburu, sesak dan pusing, di ulu hatinya serta kepalanya.
"Tolong, tolong kalian mengambil benda itu ... Sa- saya takut darah." Afifah menutup matanya erat, tubuh gadis itu bergetar hebat. Para mait maupun bodyguard yang berada di kamar itu, tidak ada yang berani mendekati Rian. Mereka khawatir kalau sampai pria itu melukai mereka.
"Hey! Nona, kau di sini untuk menenangkan tuan Rian. Bukan memerintah kami, kau harus memenangkannya sendiri," ucap salah satu bodyguard yang memilih keluar dari kamar itu bersama para bodyguard dan mait lainnya. Mengunci pintu kamar itu dari luar, meninggalkan Afifah sendiri dalam kamar bersama pria yang belum cukup sehari ia kenal, dan kejiwaan yang terganggu.
Afifah menggepal'kan tangannya, mencoba menghilangkan rasa takutnya. Gadis itu menatap manik mata tajam milik Rian. Marah, pria itu menatap nyalang pada gadis itu.
"Tu- tuan, lepas'kan pecahan itu. Kau menyakiti dirimu." Afifah tak memperdulikan rasa takutnya lagi, ia mencoba meraih tangan Rian yang berlumur darah dengan pecahan cermin di genggamannya.
"Sudah aku katakan jangan pergi. Aku akan melukai diriku sendiri, jika kau pergi. Dan aku akan melaku'kannya." Rian tak mengindahkan perkataan Afifah, pria itu tertawa di sela tangisnya.
Timbul pertanyaan di benak gadis cantik itu, ada apa? Mengapa Rian seperti ini, apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui tentang tuan muda-nya itu?
"Tuan ... Aku tidak meninggal'kanmu, aku tidak pergi. Tolong jangan lukai dirimu ... Hiks hiks hiks." Afifah menjatuhkan dirinya di lantai, sesak. Sudah terlalu banyak penderitaan yang dialaminya. Sudah terlalu banyak luka yang ia terima, dan takdir masih mempermain'kannya.
Rian yang melihat keadaan Afifah, mendadak marahnya mereda. Ditatapnya sendu ke arah gadis itu. Pundak yang bergetar menandakan bahwa ia sedang menangis.
Prhang! Bunyi pecahan kaca jatuh kelantai. Afifah mendongak, seketika tubuhnya menegang, saat tangan kekar Rian memeluknya dengan sangat erat.
"Adek ... Jangan nangis, kakak di sini," ujar Rian. Pria itu mempererat dekapannya di tubuh kecil Afifah, namun itu tidak membuat sesak bagi gadis itu, melainkan rasa nyaman.
"Tuan, tanganmu terluka. Apa boleh aku mengobatinya?" Rian mengaguk kecil, mengiyakan pertanyaan Afifah.
"Kenapa kau memanggilku 'Tuan'. Aku kakak'mu, bukan," ujar Rian, pria itu menangkup kedua pipi Afifah. Menatap wajah gadis itu layaknya anak kecil. Kau harus memaklumi hal itu Afifah, dia tak waras, hanya itu yang dipikirkan Afifah.
"Awhs ... Sakit," rintih Rian kesakitan, bahkan sekarang pria itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Afifah. Meskipun memakai hijab, ada rasa tak nyaman di hati gadis itu.
"Kia ...." Rian memanggil nama 'Kia' dengan memegang tangan Afifah yang sedang mengobatinya. Sontak membuat gadis itu terheran. "Siapa, Kia?" Pertanyaan itu melesat dari bibir Afifah.
"Kau, Adik' ku ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Yours Baby
RomanceDemi membiayai pengobatan ibunya, Afifah rela berkerja sebagai perawat seorang pria bergangguan mental. *** ●Tiba-tiba kepikiran pas nyuci piring.●