8

2.7K 132 1
                                    

#Perawat_Cantik_Untuk_Pria_Gangguan_Jiwa
#PART8

-Mencinta seseorang itu berbeda dengan dicintai.
Sama halnya dengan berjuang atau diperjuangkan.-

~Nawa R

....

Terlihat Afifah yang sedang menyuapi Rian dengan sangat telaten. Sesekali tatapan mereka bertemu, menimbulkan desiran aneh di hati Afifah. Gadis itu mencoba menepis rasa yang datang di hatinya, entah rasa apakah itu.

'Afifah ... Sadarlah, dia adalah majikanmu. Dia tidak akan mencintaimu, kau hanyalah seorang gadis miskin. Ingatlah!' Afifah menunduk dalam. Gadis itu bertanya pada takdir, apakah masih ada ujian terberat untuknya.

"Jangan menunduk, aku bukan monster. Lihat aku ... kau temanku, bukan." Afifah mendongak, "eh, hmm ... Iyah," balas gadis itu.

"Minum obat, yah!" bujuk Afifah, ia mengambil kotak obat milik Rian dari laci nakas. Menyuapi obat pada pria itu dan memberinya air putih. Rian tersenyum, senyum yang sudah delapan tahun terkubur dalam luka, kenangan yang menghancurkan hati jika diingat dan menyesakkan untuk dilupakan.

Rian membaringkan kepalanya di atas pangkuan Afifah, menenggelamkan wajahnya di perut langsing gadis itu. Ada rasa risih dan tidak nyaman tapi Afifah tidak menolak atas perlakuan pria itu.

"Kau akan selalu bersamaku 'kan? Tidak akan pergi, tidak akan meninggalkan aku seperti ...," Rian menjeda kalimatnya. Pria itu beralih menatap wajah cantik Afifah. "Kia." Lanjutnya. Afifah hanya mengangguk iya.

...

Tanpa disadari Afifah, ada yang memantaunya dan Rian dari cctv tersembunyi.

"Ckckck, Rian, Rian ... selama aku masih hidup, kamu tidak akan pernah bisa kembali waras. Akan ku buat kau menderita, dibuang dari keluarga Armana." Di tempat lain, eorang pria tertawa jahat. Pria itu duduk di kursi kebesarannya, menyunggingkan senyum licik. Abraham Samad Achland, pria paruh baya pengusaha ternama yang memiliki cabang perusahaan terbanyak di Indonesia. Saudara dari Armana Bramantyo Achland, ayah dari Satria Armana, Rian.

"Permisi, Tuan. Ada yang ingin bertemu," ujar seorang sekretaris pria tua itu dengan mengetuk pintu. Abraham mengernyitkan dahinya, mengingat bahwa ia tidak ada janji dengan seseorang.

"Suruh dia masuk." Pria itu menutup laptopnya yang memiliki beberapa file penting di dalamnya. Mendongak, melihat kearah seseorang yang baru memasuki ruangannya.

"Kenapa kamu ada di sini, huh?! Kamu tidak mengawasi pria gila itu?!" bentak Abraham pada pria yang berdiri tegak di depannya, pria itu tersenyum kecil.

"Hmm ... kau selalu menyuruhku seperti sapi yang membajak sawah. Ingat Pah, aku ini adalah putramu. Bukan budak yang dengan seenaknya Papah perintahkan ini dan itu!" raung pria itu dengan emosi yang memuncak.
Mahesa Abraham Triputra, kakak dari Kiara. Pria tampan yang berjiwa dingin, memiliki banyak dendam dalam dirinya.

"Tutup mulutmu! Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan kalau bermalas-malasan seperti ini. Ingat Mahesa, kita belum mencapai semuanya, menghancurkan keluarga Armana. Ingat itu!" seru Abraham, pria itu meneguk kopi susu yang tersedia di meja kerjanya. Pria itu menatap nyalang putranya yang masih tersulut emosi. "bagaimana keadaan anak gila itu, hm?" Tanyanya dengan nada lembut.

"Gadis perawat itu bisa menenangkan Rian, entah apa yang dilakukan oleh gadis itu. Yang jelas, Rian bisa menurut padanya," jawab Mahesa, lelaki tampan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruangan itu.

"Singkirkan dia, buat banak gila itu makin menderita. Atau buat dia semakin gila." Abraham tersenyum smirt, pria itu berkutat dengan benda pipih mahalnya, menghubungi nomor yang bisa membantunya menyelesaikan apa yang ia inginkan.

"Kerjakan tugasmu, setelah gadis itu lengah. Ingat! Kau harus berhati-hati." Mahesa hanya menggeleng mendengar penuturan ayahnya. Pria tua itu selalu berbuat sesuatu yang ia inginkan dengan segera.

...

"Aaa ... Pergi! Aku bukan pembunuh, aku bukan pembunuh! Pergi!" Terdengar teriakan Rian dari lantai atas, pria itu mendengar suara misterius yang mengatakan bahwa ia pembunuh, ia menjambak rambutnya. Mendengar tawa anak kecil yang membuatnya frustasi.

Rian beringsut ke lantai, ia menyembunyikan wajahnya di balik tangannya, memeluk kedua lututnya dengan erat. Suara Kiara kecil menggema di dalam kamarnya.

"Pergi! Tolong ... Pergilah, Afifah kau di mana?" Rian menjerit ketakutan, saat seorang berjubah hitam mendekatinya dengan membawa samurai berlumur darah.

"Argh ... aku bukan pembunuh! Tolong aku, Mamah ... Papah ...."

I'm Yours BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang