9: Jangan Bersuara

170 30 151
                                    

Jeritan nyaring Syifa membuat Sarah menoleh. Gadis itu tersentak, sontak menutup mulut dengan tangan dan merentangkan sebelah tangannya ke depan Dee, menghalangi adiknya itu untuk melangkah lebih dekat.

Baim mendelik, lantas menatap ke luar jendela. Pupilnya melebar. Ia segera membekap mulut Syifa dan membawa gadis itu duduk merapat ke dinding samping jendela dengan jantung yang bertalu-talu. Jeritan pun melengking di udara, membuat Sarah sontak menarik Dee untuk ikut bersembunyi di samping Baim. Arthur merapatkan punggungnya ke dinding di samping Dee.

Baim mengangkat jari telunjuknya di depan bibir dengan sebelah tangan masih membekap mulut Syifa. Makhluk berkulit pucat itu berdiri di perbatasan jalan setapak hutan dan pekarangan perumahan, bersitatap dengan Baim saat Syifa berteriak.

Dada gadis berhijab itu naik turun tidak beraturan mengetahui mayat yang hanya tertutupi oleh kain sampai mulut ada di sebelahnya. Ia memejamkan mata sembari mengepalkan tangan, mengingat kepala mayat itu berdarah dan dihinggapi lalat. Untungnya, mayat itu tengkurap menghadap dinding, sehingga Syifa tak perlu melihat wajahnya.

Dee kini ikut membekap mulut sendiri, mulai mencium bau yang tidak menyenangkan. Sarah merasakan perutnya bergejolak. Bahkan, rasanya ia bisa muntah kapan saja.

Napas makhluk yang menderu itu kini terdengar dengan jelas. Jantung mereka berdetak sangat kencang. Keringat dingin membasahi kulit Sarah.

Udara dan suara di sekitar mereka seakan terserap entah ke mana saat sebuah tangan berkulit pucat bertengger di kusen jendela. Keheningan total memenuhi rumah panggung itu. Syifa menahan cairan bening di pelupuk matanya untuk tidak mengalir, tak berani sedikitpun untuk bersuara.

Gadis itu refleks memejamkan mata dengan erat saat gesekan kuku dengan kayu jendela akhirnya memecah hening. Ia kemudian melirik Baim, bermaksud meminta bantuan. Laki-laki berkulit sawo matang itu hanya bisa membalas tatapannya, tak tahu harus berbuat apa. Ia menelan saliva, menaikkan tatapannya hingga menatap jendela yang sudah tidak disinggahi tangan makhluk itu.

Hening kembali menyapa. Tak ada tanda-tanda keberadaan makhluk itu hingga beberapa menit ke depan. Baim pun melepas bekapannya pada Syifa, membuat gadis itu bisa bernapas lebih lega.

Sarah menoleh ke arah Baim yang menatap lurus ke depan, kemudian menyikut lengannya. Laki-laki itu pun menoleh, kemudian menggeleng, mengisyaratkan untuk tidak bersuara dulu.

Sarah menghela napas, kemudian merengut, merasakan aroma tidak sedap menyerang organ pernapasannya. "Shit."

Tiba-tiba, makhluk itu melompat ke atas kusen jendela hingga membuat rumah bergetar hebat. Mereka refleks berseru dan menoleh ke arah jendela. Sosok dengan mata putih total itu membalas tatapan mereka dan menjerit bersamaan dengan mereka yang berteriak histeris.

"Allahuakbar!" Syifa bergerak mundur dalam keadaan duduk saat makhluk hampir dua meter itu menginjak mayat yang dikerubungi beberapa lalat, kemudian menjerit sembari menghindar ketika tangan makhluk itu terayun beberapa kali ke arah mereka.

Mereka berseru dan merangkak ke seberang ruangan tepat sebelum makhluk itu meninju lantai tempat Sarah sebelumnya duduk. Ia menoleh, lalu meraung dan hendak berlari menyergap mereka. Namun, Arthur yang berdiri di dekat pintu lebih dulu memukul wajah makhluk itu dengan laci meja yang dilepas dari tempatnya.

"Kabur lewat jendela!" Arthur berseru. Tangan Dee bergetar saat makhluk itu kembali meraung, ia terlalu terpaku hingga Sarah harus menampar pelan wajahnya agar segera mengikuti arahan Arthur.

Arthur menunduk dan menghindar ketika makhluk itu hendak menyergapnya. Baim segera bangkit dan membantu Syifa berdiri.

"Hati-hati ada pecahan kaca!" Sarah memperingati Baim. Tanpa ragu, laki-laki itu naik ke atas kusen jendela, kemudian loncat ke bawah sana bersamaan dengan makhluk itu yang membalikkan badan.

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang