24: Sang Ayah

86 17 0
                                    

Sarah terbangun, menyipit dan mengernyit  kala suasana terlalu cerah untuk matanya yang tertutup selama berjam-jam. Ia mengerjap-ngerjap, mendapati atap rumah. Tak ada suara kicauan burung, tidak ada suara apa-apa, sepertinya hari sudah siang.

Ia tak bergerak meskipun sudah sepenuhnya sadar, hanya diam menatap langit-langit rumah. Napasnya terdengar teratur. Tenang menguasai sebelum kepalanya menjelajah ke peristiwa sebelas jam yang lalu.

Ia menutup mata, kemudian menghela napas. Apa yang dia pikirkan? Gila, ia tidak pernah menyangka bahwa ia memiliki keinginan bunuh diri. Namun, jujur saja, berada di pulau ini dua minggu lebih, hampir tiga minggu, benar-benar membuat trauma.

Ia membuka mata ketika mendengar langkah kaki, lalu menoleh dan mendapati Dee yang tersenyum hangat. Adiknya itu menyodorkan setangkai bunga berwarna putih.

Sarah mengernyit, lantas menerima setangkai bunga itu. Ia mengamati bunga itu sebelum tersenyum tipis.

"Selamat ulang tahun." Dee berujar, membuat Sarah menoleh. Gadis itu tampak tertegun untuk sesaat, lantas senyumnya mengembang melihat wajah manis Dee. Sungguh, ia sangat bersyukur memiliki perempuan itu sebagai adiknya.

"Terima kasih," ujar Sarah pelan, bahkan ia sendiri kaget mendengar suaranya. Seakan-akan merasa bahwa kemarin ia berhasil mati, dan tidak lagi bisa bersuara.

"Terima kasih juga sudah bertahan." Dee tersenyum, berusaha menahan keinginannya untuk menangis mengingat hal kemarin. "Terima kasih sudah menjagaku selama ini, maaf aku selalu jadi beban."

Sarah mengalihkan atensi dari bunga di tangan ke belakang kepala Dee–karena perempuan itu menatap ke depan. Alisnya bertaut. "Hei, jangan bilang begitu."

Dee mendengkus dan tersenyum tipis. "Kau tahu, aku merasa jika Ayah ada di sini bersama kita, dia akan tetap berusaha membuat acara kecil-kecilan yang menyenangkan untuk ulang tahunmu, meskipun berada di tengah-tengah keresahan seperti ini."

Sarah terdiam, mengembuskan napas panjang. Ayahnya. Hal yang masih menjadi pertanyaan, apakah selama ini ayahnya mencarinya? Apa sebenarnya orang-orang peduli pada mereka yang hilang? Apa pulau ini sebegitu tidak terdeteksinya sampai-sampai tak ada yang kunjung menemukan mereka?

"Aku juga memikirkannya, kok, memikirkan apakah Ayah sekarang tidak bisa tidur nyenyak karena tidak berhasil menemukan kita? Atau apakah Ayah sudah merelakan kita dan hanya fokus pada pekerjaannya? Sudah lama sekali kita tidak bertemu Ayah, aku tidak bisa memastikan bagaimana beliau sekarang." Dee berujar. "Akan tetapi, aku juga teringat bahwa Ayah turut merawat kita seperti Mama. Ayah selalu merayakan ulang tahun kita, walaupun hanya dengan makan-makan sekeluarga. Doa Ayah selalu ada di antaranya, juga kado yang mahal."

Sarah memperhatikan Dee yang terkekeh. Tangannya yang memegang bunga memutar-mutar benda itu. Ada satu hal yang menggangunya.

"Apa kau tidak merasa trauma, Dee?" Sarah bertanya, hati-hati. Ia yakin, adiknya itu pun pasti trauma, tapi ... bagaimana bisa ia tetap kuat bertahan?

Dee akhirnya menoleh, membalas tatapan Sarah. Ia terkekeh pelan sebelum berucap, "Kalau ditanya trauma atau tidak, aku cukup merasa trauma, kok. Aku sebenarnya selalu takut ketika malam menyapa. Aku selalu kepikiran jika aku mati seperti Om Sebastian."

Ia mengalihkan pandangan ke depan kembali, menghela napas. "Akan tetapi, aku mengerti kenapa kau bisa sampai seperti itu, Kak. Aku tidak berani untuk melihat almarhumah Kak Syifa ketika mati lebih dekat, sedangkan kau benar-benar melihat dengan jelas. Kau pun tidak membiarkanku ikut memandikan mayatnya."

"Padahal, kalau itu membuatmu trauma, kau tidak melakukannya tidak apa-apa, Kak. Allah pasti mengerti di keadaan seperti ini. Namun, kau bilang kau harus melakukannya. Karena itu Kak Syifa." Dee menunduk, mulai merasa sendu. "Aku takut. Aku takut jika kita terus-terusan berada di sini. Makanya, traumaku tidak membuatku ingin mengakhiri hidup, tetapi membuatku ingin pulang secepatnya."

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang