22: Terdengar Lebih Baik

68 15 0
                                    

Hujan turun dengan deras, membasahi bumi tanpa ampun. Atap seng terus berusaha melindungi penghuninya hingga suara hantaman air hujan yang bertubi-tubi itu memenuhi ruangan.

Sarah duduk termenung di atas kasur, menatap keluar jendela yang hanya ditutupi dua papan kayu. Hujan akhirnya turun kembali setelah  seminggu tidak pernah turun. Sarah kira, tidak akan ada hujan lagi. Namun, semesta berkata lain dan membuat keadaan menjadi lebih sulit.

Sekarang hari sudah sore, Sarah dapat menebak dari air hujan yang mulai turun satu persatu hingga seribu sekaligus saat mereka bersiap makan siang. Alhasil, mereka tidak bisa mencari kudapan untuk makan malam. Karena setiap kali mereka mencari makan hanya cukup untuk sekali waktu.

Sarah menoleh ketika Dee naik ke atas kasur, menaikkan sebelah alis melihatnya menyodorkan semangkuk potongan buah mangga.

"Bagi berempat," ujarnya. Sarah pun menerima mangkuk itu dan memakan satu buah, lalu menoleh ke arah dua laki-laki yang duduk di lantai kayu bersandar pada dinding.

"Hei." Sarah memanggil, kemudian menyodorkan mangkuk di tangannya tanpa mengucapkan apa pun.

Leo pun menarik punggungnya menjauhi dinding dan mengambil mangkuk itu dengan merangkak, lalu kembali lagi duduk bersandar.

Sarah pun menatap luar jendela kembali, tak menghiraukan sekitarnya sampai Dee terdengar memanggil.

"Kau hanya makan satu, Kak?" Dee bertanya.

Sarah tersenyum tipis dan mengangguk. Dee terdiam, merasa senyum tersebut menutupi sesuatu. Mungkin, teman-temannya melihat Sarah adalah orang yang kuat dan selalu berusaha bangkit berdiri. Akan tetapi, Sarah tetaplah remaja delapan belas tahun yang bisa trauma melihat orang-orang di sekitarnya mati mengenaskan, atau merasa lelah menghadapi jeritan-jeritan di malam hari. Mangga mengingatkannya pada almarhumah Syifa.

"Apa Arthur memiliki makan malam?" sahut Leo, mengundang atensi Dee.

"Aku rasa iya, sepertinya dia juga memetik buah." Dee menjawab.

"Hm, baguslah." Leo merespons.

Kejadian kemarin memang mbuat hubungan keempatnya dengan Arthur meregang. Bahkan, Arthur memilih tinggal berpisah setelah melihat respons teman-temannya, pergi masuk ke dalam rumah dan membanting pintu menutup. Kini ia berada di rumah sebelah, meskipun lemarinya ringsek dan kasurnya sedikit rusak.

Bagaimana tidak? Ternyata laki-laki itu juga yang memakan dan menyelundupkan buah jambu mereka. Padahal, sebelumnya mereka selalu membagi makanan mereka secara rata, dan tidak ada yang protes, termasuk Baim.

Dari awal pun sebenarnya mereka bisa tinggal di rumah berbeda jika mau, hanya saja mereka tidak ingin terpisah. Takut jika terjadi sesuatu tiba-tiba.

Tak lama, hujan pun mulai reda, menampakkan langit yang mulai gelap. Sarah memeluk diri sendiri kala udara terasa dingin, lalu merubah posisinya menjadi meringkuk seperti janin. Ya, setidaknya mereka yang tidak mandi karena air tandon sudah habis ini tidak merasa gerah dan lengket.

"Kalian tidak merasa dingin?" Dee bertanya pada Leo dan Baim yang mengobrol.

Leo menoleh, tersenyum kecil dan mengangguk. "Aman."

Sarah tak bereaksi, meskipun telinganya mendengarkan. Akan tetapi, ia tahu bahwa kedua laki-laki itu pasti kedinginan. Sarah tidak tahu sejak kapan Baim menjadi gentleman seperti itu.

Rintik-rintik hujan masih terdengar. Entah mengapa terdengar menenangkan. Sarah pun memejamkan mata, tak lama tertidur, mencoba tidak menghiraukan rasa lapar. Mereka tidak mendapat makan yang cukup sejak pagi.

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang