1: Pasir, Langit, dan Laut

430 53 268
                                    

Suara deburan ombak menyapa rungu, volume air yang semula berada di pinggang seorang gadis naik hingga ke dada, lalu surut kembali hingga ke pinggulnya. Perlahan-lahan, setiap indera gadis itu mulai bekerja. Jari-jari tangannya dapat merasakan pasir yang basah dan lembek, kakinya terasa ditekan oleh gaya hidrostatis.

Gadis berkulit kuning langsat cenderung putih itu mendesah lirih, perlahan membuka kedua kelopak matanya untuk menyambut cahaya matahari. Butuh beberapa kali kerjapan hingga ia dapat melihat jelas bentangan warna biru dengan tumpukan kapas-kapas putih di depan sana.

Gadis itu tak bereaksi apa-apa, terus diam dengan tatapan lurus pada langit di depan.

Langit? Benak gadis itu. Rupanya kesadaran belum sepenuhnya ia dapatkan. Otaknya masih butuh waktu untuk memproses keadaan.

Langit? Gadis itu mengulang, ia menoleh ke samping kanan dan mendapati hamparan pasir halus sejauh mata memandang. Begitu pula ketika ia menoleh ke samping kiri, hanya saja ada batu-batu besar yang memotong pandangannya terhadap ujung hamparan pasir.

Gadis itu kembali menatap ke depan. Berusaha mengingat apa yang terjadi.

Mama? Gadis itu tertegun. Diandra?

Ia hendak bangkit sebelum rasa sakit dan keram menghantam tubuhnya. Gadis itu mengerang, tak kuasa menopang tubuh dengan kedua tangannya.

"Mama ...," lirih gadis itu, sesak menghampiri dadanya ketika mengingat satu fakta. "Mama ...."

Ia mengepalkan tangan, menarik napas panjang, merapalkan bismillah dalam hati. Gadis itu memutuskan melawan rasa sakit, memaksakan diri untuk bangkit duduk.

Ia mengerang sepanjang usahanya mendorong tubuh, lalu meringis ketika berhasil menatap laut biru di hadapannya. Air asin yang membentang luas itu tampak tidak tenang. Apa aku terseret arus?

Pusing menyerang kepalanya ketika berusaha mengingat lebih. Kondisinya yang baru siuman di keadaan yang amat tidak menyenangkan ini membuat gadis itu kesulitan untuk berpikir. Sialan, dia harus mencari Diandra.

Gadis itu menekuk lutut sembari menggigit bibir, kemudian menumpu tangan dengan kuat di tanah, berusaha mengangkat dirinya berdiri. "Argh ...."

"Astagfirullah ... Ya Allah." Rasanya ia ingin menangis, dadanya naik turun tidak beraturan. Bahkan, ia tidak bisa berdiri tegak.

Gadis itu menunduk menatap pakaiannya yang serba hitam, seperti warna rambut gelombangnya yang berpasir; terurai hingga ke punggung. Ia beralih celingak-celinguk menatap sekitar. Tak ada orang.

Gadis itu membalikkan badan dan mendapati hutan lebat di hadapannya. Pohon-pohon tumbuh tinggi dengan beberapa lumut dan tanaman ivy menghiasi bagian batang. Ia menelan saliva. Di mana aku?

Gadis itu menatap kanan-kiri. "Diandra! Dee!"

Ia mengangkat kakinya keluar dari air, hampir jatuh kalau saja tangannya tidak cepat-cepat menopang tubuh di tanah. Gadis itu menegakkan tubuhnya kembali, masih menoleh kanan-kiri. "Dee!"

Gadis berambut hitam itu mencoba melangkah dan berakhir terjatuh, terbatuk-batuk ketika pasir beterbangan ke wajahnya. Rasa sakit itu menyerang, dadanya naik turun dengan cepat.

"Dee ...." Gadis itu menelentangkan tubuhnya, menatap langit yang tidak secerah langit yang biasa ia lihat di rumah.

Tak bisa ditahan, cairan bening mengalir di sisi matanya. Rasa sakit di tubuh bersatu dengan ingatan akan mendiang sang Mama. "Mama ...."

Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri yang hampir sesenggukkan. Dia harus mencari Diandra, adiknya itu pasti masih hidup.

Gadis berkulit kuning langsat itu menoleh, mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengembalikan pandangannya yang buram oleh air mata. Ia mengernyit, seperti melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya.

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang