13: Seminggu

97 15 24
                                    

Suara gemeletuk api menemani mereka yang berkumpul di belakang rumah Sebastian. Empat ekor ikan menghiasi panggangan dari kayu yang berada di atas tungku api.

Sudah tiga hari, makanan mereka adalah burung dan ikan. Ikan pun cukup susah untuk ditangkap karena ombak laut pulau itu cukup besar. Bahkan, jala milik Sebastian pun tidak membantu banyak.

Sarah dan Syifa duduk di atas rumput, bersebelahan. Mereka memandangi Arthur yang sibuk mengasah batu hingga menjadi runcing. Nantinya, batu itu akan disambung ke tongkat kayu dan membentuk tombak. Ia telah membuat tiga tombak, jika dihitung mulai dari kemarin lusa. Katanya, tidak ada salahnya mempersiapkan senjata. Ya, memang benar, buktinya mereka jadi bisa mendapatkan enam ikan.

Sarah bersyukur setidaknya mereka masih bisa mendapat makanan. Namun, ia juga mulai khawatir karena sudah hampir seminggu mereka ada di pulau itu. Apa mereka masih bisa mendapat makanan ke depannya?

Menunggu di pulau itu ternyata cukup menyengsarakan. Mereka harus tak banyak bersuara di malam hari, selalu was-was tiap kali terdengar jeritan. Meskipun, Syifa tak dapat memungkiri bahwa ia senang berinteraksi lebih banyak dengan lima kawan seperjuangannya, tetapi keinginan untuk berada di tempat yang lebih layak juga makin kuat.

"Apa kabar ya akun Instagram-ku? Kameraku pasti tenggelam dan tidak ada yang bisa ku-upload dari perjalanan ke Australia." Syifa berujar dengan pandangan lurus ke depan. "Apakah followers-ku mencariku? Apakah ... ayahku mencariku?"

Sarah bergeming, salah satu telinganya sibuk mendengarkan senandungan Leo yang menyanyikan All 4 Nothing milik Lauv. Laki-laki itu duduk di depan tungku, memperhatikan ikan yang mulai berubah kecokelatan.

Apa ayahku mencariku? Sarah bergumam dalam hati. Ya, apa ayahnya mencarinya? Dia dan Dee sendiri pergi ke Australia karena ingin mengunjungi sang ayah yang bekerja di sana. Mereka hampir tak pernah bertemu dengan sosok kepala keluarga itu selama masa pandemi tahun lalu, padahal beliau sempat positif. Lalu, mereka memilih naik kapal, karena itu adalah impian sang mama.

"Memangnya kau siapa di Instagram?" Leo akhirnya bertanya, sembari mengipas-ngipas api yang membakar kayu hingga menjadi arang.

"Aku suka traveling dan aku suka fotografi. Aku memadukan keduanya di Instagram-ku." Syifa menoleh, tersenyum kecil ke arah Leo.

"Wah, biar ku-follow Instagram-mu setelah kita bebas dari sini." Leo membalas, tercengir. Syifa terkekeh mendengarnya.

"Aamiin." Sarah menyahut, kemudian atensinya yang semula berpusat pada Arthur berpindah ke arah Dee yang baru saja datang dengan salah satu tangan memegang biskuit. Adiknya itu kemudian menyodorkan sebuah bungkusan dari kotak persediaan.

Sarah melongok ke dalam bungkus itu, melihat biskuit di dalam hanya tersisa tiga. Ia meraih satu, kemudian kembali bersandar dan tersenyum ke arah Dee. "Terima kasih."

Dee membalas tersenyum dan beralih menawarkan pada Syifa. Saat gadis berhijab itu telah mengambil satu, Dee menoleh dan menawarkan sisanya pada Arthur.

Arthur melemparkan tombak yang telah dibuatnya ke atas dua tombak lainnya, kemudian menjulurkan tangan. Dee pun maju dan memegang bungkus itu tepat di bawah tangan Arthur.

"Hei, tanganmu kotor, Om!" seru Syifa. Namun, Arthur tetap menggigit biskuit itu.

Sarah menoleh ke arah Leo yang memperhatikan ikan di atas kayu panggangan dengan mata menyipit, jarak mereka terbilang terlalu dekat. "Oi, Saputra, kau tidak mau biskuit ini?"

Leo menoleh, menatap Sarah yang mengangkat biskuit di tangannya sejajar wajah, kemudian kembali memperhatikan ikan di hadapannya sembari mengipasi api. "Santai saja, Praditya, aku tidak butuh biskuit itu."

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang