21: Minimal Enam

82 12 0
                                    

Kelopak mata Sarah terbuka, mengerjap-ngerjap mendapati dinding kayu sebagai objek pertama yang dilihatnya. Ia melirik ke bawah, menatap selimut yang terlipat rapi di lantai samping kasur. Ah, hari pasti sudah siang, ketiga laki-laki yang biasa tidur di lantai beralaskan selimut sudah tidak ada di tempat.

Sarah merubah posisi tubuhnya yang semula menyamping menjadi telentang dengan kepala tertoleh ke sisi kasur di sebelahnya, tak menemukan Dee. Hanya ada dia di rumah itu. Ah, setidaknya, sebelum Baim masuk lewat pintu belakang.

"Selamat siang." Laki-laki berkulit sawo matang itu berujar seraya meraih botol minum dan mengisinya dengan air dari termos. "Ingatlah kau belum melakukan salah satu kewajiban."

Sarah mengernyit mendengarnya, kemudian menyadari apa yang dimaksud Baim dan melengos, menatap atap rumah. Ia mengembuskan napas berat. Tak merasakan semangat untuk bangun dari permukaan empuk itu, bahkan untuk melakukan kewajiban sekalipun.

Baim menutup tutup botol dan beranjak keluar rumah. Tak lama berselang, Dee masuk membawa dua buah mangga.

"Bagaimana keadaanmu, Kak?" Dee bertanya, meletakkan dua buah mangga itu di atas meja dapur dan meraih pisau.

"Ya ... begitu." Sarah menjawab sekenanya, lalu menoleh menatap Dee yang mulai mengupas mangga. Perempuan itu tampak segar dengan pakaian yang baru, pasti dia sudah mandi.

"Kau mengambilnya sendiri?" tanya Sarah.

"Tentu saja tidak, Kak Leo si ahli memanjat membantuku. Sekarang dia sedang berburu ikan bersama Kak Arthur, dan Kak Baim baru saja menyusul." Dee menjawab dengan pandangan tetap fokus pada pekerjaannya.

Sarah hanya terdiam mendengarkan, lalu kembali menatap langit-langit rumah. Tak tahu apa yang menjadi fokus tatapannya, maupun fokus pemikirannya. Ia hanya ingin tidur dan terbangun di tempat yang lebih menyenangkan.

Sarah menutup kelopak matanya kembali, tetapi kemudian telinganya mendengar interupsi dari Dee.

"Kak, kau belum salat subuh, 'kan?"

Sarah pun membuka matanya, melirik Dee. Ia justru membalikkan badannya hingga tengkurap, tak mengucapkan apa-apa.

"Kau tidak terbangun saat kubangunkan tadi, jadi sah-sah saja selama kau segera melakukannya, jangan mengulur-ulur." Dee menceramahi, seakan mengetahui tidak ada lagi Syifa yang biasanya selalu mengingatkan.

Sarah mengeluarkan suara keluhan yang mengisyratkan rasa malas. "Aku tidak bisa bangun."

Dee menggeleng-geleng pelan, menaruh sebagian mangga yang sudah dipotong kotak-kotak ke mangkuk. "Kau tahu arti kewajiban, 'kan, Kak? Terserah saja padmu."

Sarah bergumam malas. Setelah mengumpulkan niat, ia pun beranjak bangkit dari kasur. Ia mengusap wajah dan menghampiri Dee, melihat potongan buah berwarna kuning tua yang tampak menyegarkan di mangkuk. Namun, kepalanya justru menampilkan bayangan Syifa. Ah, dia makin malas untuk melihat hutan.

Dee menyodorkan garpu pada kakaknya itu. "Buah jambu yang kita petik sudah hilang, tadinya masih ada dua. Entah siapa yang mengambilnya ... atau memakannya."

Sarah mendengarkan tanpa merespons, menerima garpu di tangan Dee. Sarah menusuk satu potong dan memasukannya ke dalam mulut, lalu meletakkan garpunya begitu saja. Ia pun beranjak keluar rumah, meringis pelan seraya menggaruk-garuk rambut yang berantakan ketika cahaya terik matahari menyapa. Mungkin, ini jam sepuluh atau sebelas.

Sarah melangkah menuju kamar mandi, entah mengapa merasa takut. Ia sedikit menghindari kamar mandi tadinya. Sarah pun masuk ke dalam bilik toilet yang terdapat kloset, buang air kecil sejenak. Namun, tidak sempat mengambil wudhu, ia melihat bercak berwarna cokelat di celana dalamnya. Sesuai dengan apa yang ia takutkan.

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang