23: Are You Crazy?

78 15 0
                                    

[⚠️: suicidal attempt]


Sarah mendongak. Bukankah mati terdengar lebih baik?

Ia tak perlu lagi mendengar jeritan-jeritan mutan itu.

Ia tak perlu lagi melihat teman-temannya mati.

Sejenak, otaknya menampilkan proyeksi dari kematian mendiang sang mama, Sebastian, sampai Syifa. Semuanya mati dengan cara mengenaskan.

Ia tersenyum tipis. Bukankah ia hanya beban di sini? Ia tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun ia sudah belajar memanah. Ia hanya seperti harapan palsu orang-orang. Bukankah ia hanya beban di sini? Membuat Baim, Leo, dan Dee harus keluar rumah karena dia sudah tidak tahan dengan rasa laparnya.

Biar aku saja yang mati, bukan Dee.

Sarah melepaskan busur dari tangannya. Bukankah jika ia pergi ... maka kebutuhan makan Baim, Leo, dan Dee bisa bertambah? Mereka tidak lagi harus berbagi dengannya bukan? Lagipula, apa dia sepenting itu untuk bertahan?

Apa bahkan Ayah berusaha mencariku? Suara itu seakan menggema di kepala Sarah, sampai ia tidak sadar bahwa Baim, Leo, dan Dee tidak lagi berusaha mengajaknya pergi karena teralihkan oleh keberadaan Arthur. Ini sudah hampir tiga minggu.

Sarah menoleh ke arah mutan yang kini terlihat seperti menatap ke arahnya itu. Bukankah jika aku pergi ... beban teman-temanku berkurang?

Jika pada akhirnya mereka semua akan mati oleh mutan itu. Bukankah ... lebih baik sekarang? Setidaknya ia jadi tidak perlu melihat kematian-kematian yang lain.

Ia tidak perlu melihat wajah Leo hancur, tidak perlu melihat tubuh Dee dipenuhi darah, mendengar Baim berteriak seperti Sebastian, ataupun melihat Arthur dimangsa karena mutan itu juga kekurangan bahan pangan, pada akhirnya.

Sarah tersenyum tipis. Ya ... itu terdengar lebih baik.

Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Ia bisa gila jika terus-terusan hidup di sini. Ia bisa gila. Bisa gila. Atau dia sudah gila?

Sarah benar-benar merasa kepalanya berisik, dengan segala emosi yang sudah terpendam, trauma yang menghantui, rasa takut yang ia coba kubur dalam-dalam agar bisa membuat Dee merasa kuat, dan rasa lapar yang kian menggerogoti. Kata Baim, mati kelaparan itu mati konyol, 'kan?

Ini adalah momen yang tepat.

Mama ... aku mau bertemu Mama saja. Mata Sarah berkaca-kaca, kini ia memposisikan tubuhnya menghadap mutan yang lurus menghadapnya dengan jarak puluhan meter. Aku tidak bisa keluar dari sini.

"Sarah?"

Syifa ... maafkan aku. Aku gagal. Sebastian ... maafksn aku, aku tidak bisa membalas budi. Dee ... kau terus saja terluka. Aku ... tidak bisa diandalkan. Sudah cukup sampai di sini. Aku ... tidak bisa lagi bertahan. Aku ... akan berhenti merepotkan.

Tangis Sarah pecah, tangannya bergerak melepas tabung bambu. Aku ingin bertemu Mama saja.

Saat Leo hendak meraih bahu Sarah, gadis itu justru berlari.

Ia memejamkan mata sembari berteriak, tak menghiraukan segalanya, kecuali suara raungan sesosok mutan.

Leo membulatkan mata melihat mutan itu berlari dari arah berlawanan, Dee seketika tak bisa berpikir jernih.

"Sarah!"

"Kak Sarah!"

Ketika jarak antara Sarah dan mutan itu terpaut belasan meter, Baim yang berlari mengejar Sarah melompat dan menerjang gadis itu dari serong belakang, membuat mereka berdua ambruk ke tanah dan berguling sesaat di sisi kanan lajur lari Sarah tepat sebelum sebuah tombak melesat di atas mereka dan menancap di dada mutan itu.

Unknown LocationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang