Pulang malamnya bukan berati ia menghabiskan setiap waktu yang tak berarti, dia hanya berusaha untuk sembuh dari rasa sakit yang ada. Bagaimana mungkin ia berusaha seorang diri, dan terus dipaksa agar memahami semuanya tentang keadaan yang terjadi. Raksan tidak seharusnya mempergunakan seluruh waktunya untuk hak seperti itu, dia bebas melakukan apa saja. Yang terpenting sekarang adalah ketenangan.
Awalnya Raksan lebih mudah memahami ketimbamg diberitahu dari orang lain yang memintanya untuk paham, tapi orangtuanya terlalu menuntut agar ia bisa mengerti keadaan. Raksan sangat muak jika harus melakukan hal tersebut, karena ia belum mendapatkan apapun. Lalu untuk apa ia harus memahami keadaan orang lain? Raksan hanya punya dirinya sendiri. Satu-satunya sosok yang tidak perlu diperjelaskan mengenai keadaannya. Akan tetapi akan sangat memahaminya.
Mama menatap putra sulungnya yang hendak berjalan menuju sebuah kamar di sudut ruang tamu, wanita baya itu memanggil namanya untuk menanyakan sesuatu. Tentu saja Aida mempedulikan Raksan, apapun yang terjadi kalimat tanyanya tak akan tersudahi begitu saja.
Tapi untuk saat ini, Aida mengkhawatirkan salah satu di antara kedua putranya saja. Sudah hampir larut malam namun si bungsu belum kunjung pulang, katanya dia akan pulang jika menemukan keberadaan kakaknya. Tapi saat Raksan sudah sampai di rumah Rakzhan tidak ada.
"Adekmu mana?"
"Luka aja gak bareng sama aku," ucap Raksan memijati pangkal hidungnya, ia kelelahan tapi tidak ingin memperlihatkannya di depan sang mama.
Mendengar penuturan tersebut Aida justru semakin mengkhawatirkan bungsunya, ia belum pulang setelah berjanji untuk pulang bersama sang kakak. Lalu, kemana perginya Rakzhan. Dia tidak seharusnya pergi sampai selarut ini.
"Kamu beneran gak bareng adekmu, San?"
"Enggak, Ma! Raksan capek," bentak Raksan dibarengi dengan suara pintu yang ia tutup dengan kuat.
Mamanya menghela napas perlahan, dia tidak tenang. Di rumah hanya ada Raksan dan dirinya saja sedangkan suaminya pergi untuk kepentingan perusahaan. Mana bisa ia tenang jika yang dinanti-nantikan tak kunjung tiba. Tapi, kenapa Raksan tidak dikhawatirkannya. Padahal Aida melihat jelas wajah pucat Raksan, barangkali untuk saat ini hal semacam itu tidak terlalu penting.
Hingga beberapa saat kemudian, pintu terbuka menampilkan Rakzhan yang sangat berantakan. Rambutnya acak-acakan tak karuan dan sudut bibirnya sedikit lecet. Aida segera mendekat, mengusap lembut pundaknya dan mempertanyakan segala hal yang membuatnya khawatir.
"Kenapa baru pulang?" Tanya Aida sambil memperhatikan wajah anaknya.
"Maaf, ma. Tadi tuh..."
"Ini juga bibir kamu kenapa? Jangan bilang kamu ikut tawuran," ucap mama memotong perkataan Rakzhan.
Sementara Rakzhan tidak tahu harus mencari alasan seperti apa lagi, jika keseringan berbohong pasti semuanya akan semakin memburuk. Tapi jika mengakui kenyataan pasti akan juga dimarahi habis-habisan. Rakzhan jadi serba bingung sendiri karena perbuatannya itu.
Beruntungnya Aida itu tidak seperti papanya, ia terus mengkhawatirkannya. Dan setelahnya meminta Rakzhan untuk mandi, sedangkan Aida akan memasakkan makanan kesukaan putranya, jauh berbeda saat wanita baya itu memperhatikan Raksan. Wajar saja jika Raksan pun berkeinginan menjauh dari keluarganya sendiri.
Aida hanya memberikan perhatian lebih pada si bungsu, dan membiarkan Raksan karena ia sudah tumbuh dewasa. Tapi, Aida lupa bila Raksan belum sepenuhnya mendapatkan kasih sayang karena terlalu lama di maklumi.
Setelah menghadirkan Rakzhan ke dunia, semuanya sudah punya batasannya tersendiri. Raksan tidak lagi di anggap sangat berharga, hanya karena dia terus melawan. Padahalkan Raksan haus akan perhatian, bukan diberikan banyak penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetap Anak Tunggal [✓]
Fiksi Penggemar𝙏𝙖𝙝𝙖𝙥 𝙍𝙚𝙫𝙞𝙨𝙞. Ternyata memang benar seorang kakak itu akan diabaikan jika dia sudah punya adik. Terkadang dia dibiarkan menjalani kehidupannya sendirian, akan dimarahi habis-habisan bila seandainya melakukan kesalahan yang membuat adikny...