1. Kesialan Beruntun

19.4K 1K 199
                                    

Ify mengusap peluh, meski lelah tetapi semua itu terbayar saat banyak orang tersenyum ketika menikmati masakannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan restoran sudah hampir tutup. Tak ada lagi pengunjung dan Ify pun berniat siap-siap untuk pulang saat salah satu rekannya menghampirinya.

"Fy, dipanggil Pak Riko tuh!"

"Gue?" Ify menunjuk dirinya sendiri. Merasa heran karena tak biasanya sang manager berada di restoran sampai larut malam.

"Cieeee, masih belum nyerah tuh Pak Manager ngejar lo, Fy! Bukannya lo bilang kemarin udah lo tolak?" celetuk Sivia, sang sahabat yang juga salah satu chef di restoran ini.

Ify hanya mengedikkan bahu, lantas melepas apron yang melekat di tubuhnya dan bergegas menuju ke kantor Riko. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya malam ini.

Ify memandang pintu di depannya dengan gugup. Ia sama sekali tak punya clue apapun kenapa sang manager sampai memanggil dirinya larut malam seperti ini.

Setelah mengetuk pintu, Ify pun masuk dan langsung dihadapkan dengan pandangan sang manager yang sangat tajam ke arahnya.

"Permisi, Pak! Bapak memanggil saya?" tanya Ify dengan sopan. Meski merasa sebal karena pandangan Riko yang seolah menelanjangi dirinya itu, Ify tetap mencoba menahan emosi.

"Duduk!"

Ify pun dengan patuh duduk di sofa, disusul oleh Riko yang duduk di sampingnya. Ify bergeser pelan, tetapi Riko ikut bergeser. Tangannya dengan kurang ajar memegang paha Ify dan meremasnya pelan.

"Maaf, Pak! Jika tidak ada kepentingan saya ijin pulang," ucap Ify sembari melepaskan tangan Riko dari pahanya.

"Tunggu dulu! Kenapa harus buru-buru? Nanti biar saya antar pulang." Riko mencoba menahan Ify.

"Maaf, Pak! Tapi saya permisi!" Ify dengan cepat bangkit dan berniat untuk segera pergi sebelum tangannya ditahan dan dalam sepersekian detik ia sudah berada dalam pelukan Riko.

"Kenapa kamu susah sekali dibilangin, saya kan bilang nanti dulu! Kemarin kamu sudah nolak saya, hari ini jangan ditolak lagi."

Ify berontak dengan sekuat tenaga. Apalagi saat ia merasakan tangan kurang ajar managernya itu mulai menyentuh pantatnya.

Plakk!

Berhasil lepas dari pelukan sang manager, Ify memberikan satu tamparan keras yang membuat Riko melotot marah.

"Berani kamu sama saya? Mulai besok jangan datang lagi ke restoran ini, kamu saya pecat!"

Ify menggeretakkan gigi, ia sungguh ingin menghajar muka mesum managernya itu hingga babak belur.

Bugh!

"GUE JUGA NGGAK SUDI KERJA SAMA LO LAGI, MANAGER MESUM, BAJINGAANN!"

Ify kemudian keluar dari kantor Riko dan membanting pintunya dengan keras, meninggalkan Riko yang meringis kesakitan memegang asetnya.

*

"Fy, lo nggak apa-apa?" tanya Sivia begitu mendapati Ify kembali dari ruangan sang manager. Ify hanya diam dan menggigit bibir, menahan air mata yang siap turun kapan saja sembari membereskan semua barang-barangnya di loker.

Tingkah Ify tentu saja menarik perhatian beberapa karyawan yang belum pulang, namun tak ada satu pun yang berani bertanya karena melihat ekspresi Ify. Sampai kemudian terdengar teriakan sang manager dan Ify dengan cepat pergi dari restoran itu tanpa mempedulikan pandangan heran dari rekan kerjanya.

Melangkah dengan gontai, satu persatu air mata Ify jatuh. Ia terisak pelan. Kenapa sulit sekali untuk hidup dengan tenang? Ify hanya ingin bekerja dengan baik demi mendapatkan uang untuk pengobatan sang ibu dan biaya sekolah sang adik. Tapi hari ini ia baru saja dipecat.

Ify terduduk di trotoar, memeluk lutut lalu menangis keras. Tak peduli dengan pandangan orang-orang yang lewat. Karena meskipun sudah cukup larut, jalanan ini masih lumayan ramai, maklum kota besar seperti Surabaya ini tak ada matinya.

Puas menangis, Ify kemudian bangkit sembari mengusap air matanya. Rasanya menjadi lebih lega dan langkahnya lebih ringan untuk pulang ke rumah. Ia sudah ikhlas jika kehilangan pekerjaan sekarang, besok ia akan mencoba lebih keras lagi. Ify yakin, kemampuannya dalam mengolah masakan tak kalah dengan chef di restoran hotel bintang lima.

Sebuah kerumunan di halte bus menarik perhatian Ify. Ia mendekat perlahan untuk melihat apa yang terjadi.

"Orangtuanya kemana? Kenapa anak ini sampai sendirian di sini?" sayup-sayup Ify mendengar percakapan orang-orang yang berkerumun itu.

Ify mendekat dan melihat seorang bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun tengah menangis histeris. Tak mau di dekati oleh siapapun hingga orang-orang pun bingung bagaimana mau menolong.

Ify menatap bocah itu, bersamaan dengan bocah itu yang juga menatapnya. Lalu tanpa diduga bocah itu berdiri, menubruknya dan berteriak-

"MAMA!"

Ify tersedak ludahnya sembari agak terhuyung menerima pelukan tiba-tiba dari bocah laki-laki itu.

Kini semua mata memandangnya dengan cemoohan. Ify hanya menggeleng, mencoba menjelaskan jika itu tidak seperti yang mereka kira, karena tenggorokannya tercekat tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, sementara bocah lelaki itu sudah memeluknya dengan erat seolah takut terlepas.

"Punya anak tuh mbok dijaga, gimana kalau terjadi apa-apa? Jadi ibu kok nggak becus jagain anak."

"Anak muda jaman sekarang maunya punya anak tapi nggak bisa jaga."

"Lain kali lebih perhatian lagi. Kasihan anaknya udah tantrum nangis, tuh!"

Dan berbagai celotehan lain yang tak bisa ditangkap oleh telinga Ify. Ia total membeku dengan sang bocah yang kini sudah berhenti menangis dan malah tertidur di pelukannya.

Kerumunan itu kemudian buyar, meninggalkan Ify dan sang bocah di pelukannya. Ingin rasanya Ify menangis dan berteriak sekuat tenaga. Ia kira, dipecat dari pekerjaan adalah kesialan terakhir hari ini, nyatanya masih ada kesialan menyusul. Rasanya Ify ingin mengulang waktu dan memilih untuk naik taksi saja dan tiba di rumah lebih cepat.

Ify menghela napas panjang, melihat paras bocah laki-laki di pelukannya yang tertidur pulas. Jejak-jejak air mata masih nampak di pipi kecil itu. Sebenarnya orangtua bangsat mana yang ninggalin anaknya sendirian di halte??? Bikin susah Ify aja.

Tak tega meninggalkan bocah itu, Ify pun berjalan pulang sembari menggendong bocah itu. Ify bertekat untuk mencari orangtua sang bocah dan menuntut kompensasi karena sudah pasti ia kini juga harus merawat sang bocah. Menghidupi dirinya sendiri saja sudah kewalahan dan kini Ify harus mengurus balita yang entah anak siapa.

Sampai di depan kamar kosnya, Ify berniat mengambil kunci di saku celananya saat ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Dengan satu tangan, Ify mengangkat panggilan telepon yang ternyata dari sang adik.

"Halo, Ray!" sapa Ify disambut dengan isakan lirih yang membuat jantungnya berdebar menyakitkan. Perlahan, Ify berjalan ke arah kursi yang ada di depan kos, mendudukkan dirinya di sana sebelum menerima kabar dari sang adik yang ia tebak adalah kabar buruk.

"Kak, mama meninggal!"

Rasanya nyawa Ify terbang meninggalkan raganya yang termangu di depan pintu kamar kos. Mengabaikan nyamuk yang mulai berpesta ria menghisap darahnya. Hingga rengekan dari balita di pangkuannya mengembalikan kesadaran Ify.

"Kak, kakak bisa pulang malam ini? A-aku takut, Kak!" Suara Ray membuat Ify menghela napas. Ia harus kuat, tak ada waktu untuk meratapi ini semua. Ia harus pulang, tapi bagaimana dengan balita ini? Ify tak sejahat itu untuk mengabaikan bocah ini. Ia bisa saja mengantarkan bocah ini ke kantor polisi, tapi mengingat di halte tadi bocah ini tak mau disentuh siapapun membuat Ify tak punya pilihan lain.

"Tunggu kakak pulang!"

Ify pun memutuskan membawa bocah itu pulang. Entah apa yang akan terjadi nanti, Ify enggan untuk berpikir.

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang