8. Lunch

8.6K 788 25
                                    

Pikiran adalah salah satu pembunuh secara tak langsung.  Tak ada kegiatan di saat tengah hari yang sunyi, membuat Ify lagi-lagi tenggelam dalam pikiran yang akhir-akhir ini membuatnya sakit kepala. Semua tak berjalan sesuai rencana. Banner promosi katering miliknya yang direncanakan oleh Ray tak berjalan sesuai ekspekstasi.

Memang, ada satu dua yang pesan atau beli, tapi itu tak bisa menutup modal awal yang lagi-lagi membuat Ify harus memutar otak. Apalagi saat kabar menggembirakan dimana sang adik diterima di kampus ternama Universitas Airlangga. Meski beasiswa penuh, tak memungkiri kebutuhan lain juga membesar. Ongkos dan uang saku sang adik yang sudah pasti. Tak mungkin juga Ify membiarkan sang adik memegang uang pas-pasan. Ify harus memikirkan alternatif lain untuk menopang hidup mereka.

Air mata tanpa sadar mulai menitik, Ify merasa pundaknya terasa sangat berat. Memikul beban sebegitu besar dalam waktu yang tak singkat, sampai Ify sendiri tak sempat untuk mengerti arti bahagia.

"Ibu, Ify rindu," bisiknya dengan air mata yang semakin deras mengalir. Ia memeluk lutut, menenggelamkan wajahnya membiarkan dirinya sendiri menangis sepuas yang ia bisa. Setidaknya, akan membuatnya lega meski tak menyelesaikan masalah.

Cukup lama Ify menumpahkan tangis sampai ia merasa kesulitan bernapas karena hidungnya tersumbat. Suara dering ponsel dan nama Ray tertera sebagai sang penelepon, membuat Ify bergegas menghapus air mata, mencoba menetralkan suara agar sang adik tak menyadari jika ia baru saja menangis.

"Halo!"

"Kak, gue baru selesai ngurus administrasi, lo mau nitip apa gitu nggak?"

Ify terdiam sejenak sebelum menjawab, "Nggak usah, lo langsung pulang aja, gue udah masak banyak."

"Lo ... abis nangis, Kak?" Suara Ray memesan, menyadari suara kakaknya terdengar beda.

"Hahaha, enggak! Ini hidung gue lagi mampet aja. Ngapain nangis, sih?"

"Perlu gue beliin obat?"

"Nggak usah, ntar juga sembuh sendiri."

"Serius lo nggak apa-apa, Kak?"

"Serius lah! Cepetan pulang, gih!"

"Oke!"

Panggilan terputus dan Ify menghela napas panjang. Beranjak ke kamar mandi untuk membasuh muka lalu memasak untuk makan siang.

Sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak, terdengar suara kendaraan berhenti di depan kosan.

"Loh, kok udah dateng?" gumam Ify sambil berjalan ke depan. Tidak mengira jika Ray akan datang secepat ini sementara dia belum selesai memasak.

"Kok udah dateng, gue--" Ucapan Ify terputus saat menyadari jika yang berdiri di depan pintu kosannya bukanlah sang adik, melainkan sang manager- ralat, mantan manager beserta sang head chef restoran Jade Imperial.

"Pak Lintang, Pak Riko, ada apa ke sini?" tanya Ify begitu sudah mampu menguasai rasa terkejutnya.

Lintang tersenyum, lalu menatap Riko yang langsung berlutut di depan Ify membuat gadis itu melangkah mundur.

"Ify, maaf maaf, saya salah! Saya sudah berbuat hal yang tidak sepantasnya saya lakukan! Maaf karena saya tidak bisa profesional dalam bekerja, maaf karena saya, kamu mengalami hal yang sulit!"

Ify tercengang. Ia terdiam selama beberapa detik demi memahami situasi yang tak biasa ini. Seorang Riko berlutut meminta maaf padanya? Ify menatap Lintang meminta penjelasan, tetapi Lintang hanya tersenyum lalu menyerahkan sebuah amplop surat yang diterima Ify dengan heran. Tak sabar, ia membuka surat itu dan mengabaikan Riko yang masih berlutut di depannya.

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang