25. Telepon Tengah Malam

5.4K 468 3
                                    

Hubungan tanpa kepastian selalu menjadi momok yang menakutkan. Ada banyak batasan yang membuat frustasi, apalagi sosok itu adalah sosok luar biasa yang digandrungi oleh lawan jenis. Meski cemburu setengah mati, tapi tak ada yang bisa dilakukan kecuali menahan diri.

Semakin lama hubungan Rio dan Ify semakin dalam. Keduanya tak lagi canggung untuk saling melempar candaan dan godaan atau yang lebih intim adalah pelukan dan ciuman. Tapi apa hubungan diantara mereka?

Nggak ada.

Jika Ify ditanya pun, ia hanya akan tersenyum pahit. Ia tak bisa mendefinisikan jenis hubungan yang dimilikinya.

Bos dan karyawan? Tentu saja tidak. Mereka jauh lebih dari itu.

Sepasang kekasih? Bukan juga. Tak pernah ada ikrar yang mengikat mereka. Setelah insiden di apartemen itu, Ify selalu berharap Rio memberikannya kepastian, tapi rupanya itu hanya harapan semu. Rio sama sekali tak menyinggung dengan hubungan mereka. Namun, ia begitu lugas bersikap tanpa merasa canggung.

Apa hubungan orang kaya seperti ini?

Jujur, Ify tidak tahu. Dan ia sudah lelah bertanya-tanya. Maka yang ia lakukan sekarang adalah mengikuti alur. Ia lelah overthingking sendirian sementara Rio terlihat lebih enjoy dan hidup.

"Waahhh, aura orang kaya memang beda, ya!" Sivia mengambil tempat di sebelah Ify setelah menyelesaikan urusannya di kamar kecil.

Usai shift malam, Sivia ingin menginap di apartemen Ify. Berujung keduanya kini ada di depan televisi dengan banyak makanan ringan di meja. Meski jarum jam sudah menunjukkan pukul 11:30 malam, mata mereka tak terlalu mengantuk sehingga memutuskan untuk menonton televisi sejenak.

Saat ini sebuah tayangan malam dari channel bisnis sedang membahas sebuah kerjasama bernilai satu triliun rupiah antara BIAN GROUP dan DITYA CORP. Kedua pemimpin tertinggi perusahaan tampak begitu berwibawa saat di depan kamera. Setelah acara penandatanganan kontrak, mereka kemudian foto bersama dengan kontrak yang ada di tangan. Ini adalah acara tadi siang, Ify sempat dikasih tau Rio, sehingga ia pun tak terlalu memusingkan diri meski sampai sekarang tak ada notifikasi satu pun dari pria itu.

"Namanya juga pemimpin, Vi! Kalau auranya biasa aja mana bisa mimpin perusahaan segede itu?" timpal Ify tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. Ah, lebih tepatnya dari wajah Rio yang terpampang di televisi.

Tampan, berwibawa, berkharisma, dengan senyum yang terlihat lesung pipit membuat duda satu anak itu terlihat sangat manis. Tubuh tegap dan dada bidang membuktikan jika ia rajin berolahraga.

Ify tanpa sadar menghela napas dengan keras membuat Sivia heran.

"Lo kenapa? Lihat doi kok malah gitu responnya?"

"He's not mine," sahut Ify lirih.

Mata Sivia membola. "Belum ditembak juga?"

Ify menggeleng.

"Maunya apa, sih? Kalian loh udah deket banget kesana kemari berdua, kadang bertiga macam keluarga bahagia. Tapi, nggak ada ikatan apapun??"

Ify kembali menggeleng.

"GILA!" Sivia berdecak. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan keterkejutan yang luar biasa.

"Lo nggak mau tanya gitu ke Pak Bian?"

Ify berdecak. "Masa gue yang harus nanya sih?"

"Ya apa salahnya?" balas Sivia santai. "Sekarang jaman emansipasi wanita, jadi nggak ada yang salah kalau lo emang mau bergerak duluan. Kalau sama-sama suka, kenapa nggak sat set sat set aja, sih? Keburu direbut orang tau rasa."

"Kok lo yang lebih marah, Vi?" Ify tersenyum geli melihat sahabatnya yang mengomel.

"Ya gue gemes anjirr!! Lo berdua udah segitu dekatnya,  udah lama juga, tapi nggak ada ikatan apa-apa. Atau selama ini gue salah menilai Pak Bian?"

"Salah gimana?"

Sivia meminum soda miliknya sebelum menjawab, berakhir dengan melakukan sendaw yang keras membuat Ify melemparkan keripik singkong yang membuat gadis itu tertawa.

"Gue kira selama ini Pak Bian itu daddyable banget, sosok yang penyayang dan bertanggung jawab. Melihat bagaimana sikap Atan, dia bukan sosok ayah yang gagal. Dan dia juga bukan sosok bos yang gagal. Dibawah kepemimpinan Pak Bian, BIAN GROUP justru semakin meluas." Sivia tampak berpikir sejenak.  "Apa penilaian gue itu salah?"

Ify menggeleng. "Dia sempurna, Vi! Hampir sempurna." Gumamnya.

"Ya tapi kenapa dia belum ngasih lo kepastian?"

"Gue nggak tau, tapi sepertinya dia punya alasan sendiri."

"Atau jangan-jangan, dia masih ngarepin ibunya Atan? Atau beneran dia udah tunangan sama perempuan kemarin? Atau dia mau langsung nikah aja?" Bombardir Sivia dengan pertanyaan.

"Ngaco!" sangkal Ify.

"Kalau ibunya Atan gue nggak tahu, tapi kalau soal perempuan kemarin, Mas Rio udah jelasin kok. Mereka nggak ada hubungan apa-apa, hanya teman sejak kuliah. Dan aneh juga akhir-akhir ini nggak ada gangguan lagi dari perempuan itu."

Sivia pun tampak mengangguk-angguk. "Mungkin udah di cut off kali sama Pak Bian. Lo nggak tahu aja gimana paniknya Pak Bian waktu itu, kalau misal bukan keadaan genting pasti bakalan gue foto biar lo tahu bagaimana paniknya dia. Bahkan perempuan itu langsung dibentak sampai nggak berkutik."

"Serius? Pak Bian bentak perempuan itu di depan umum?" Ify tak pernah tahu cerita itu. Meski banyak karyawan yang bergosip ria tentangnya, ia memilih untuk abai.

"Seriuslah! Mana lo langsung digendong ke mobilnya dan langsung cusss ke rumah sakit."

Ify menahan bibirnya yang berkedut. Sikap Rio layaknya adegan-adegan di novel yang sering ia baca.

Perbincangan kedua sahabat itu terhenti saat ponsel Ify yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah nomor tanpa nama kini terpampang di layar ponselnya.

"Siapa?" tanya Sivia yang dibalas gelengan oleh Ify.

"Nggak usah diangkat, sih! Orang waras nggak bakal nelpon tengah malam gini."

Ify mengangguk membenarkan, keduanya kemudian kembali mengobrol, tapi ponselnya kembali berbunyi.

"Ck, siapa sih?" Dengan menggerutu, Ify menggeser tombol hijau dan bersiap menyemprot sang penelepon karena tidak tahu waktu.

"Akhirnya kamu angkat juga, Mita!"

Ify terpaku mendengar sapaan dari ujung telepon. Suara yang sudah tak ia dengar lagi selama tiga tahun terakhir. Dan sapaan akrab memanggil nama tengahnya, hanya satu orang saja yang memanggilnya Mita.

"Siapa, Fy?" tanya Sivia kepo karen melihat perubahan ekspresi sahabatnya itu.

Ify tak menjawab, hanya menatap Sivia penuh arti hingga gadis itu pun ikut membelalakkan mata.

"Diaa???"

*
Haiii gimana kabar hehehe

Semoga kalian masih mau baca ceritaku ya hehe meskipun agak gak jelas inih

Oh ya, kalian ada yang mau jadi hunter gak? Tugasnya nyari naskah yang layak terbit, kalau kalian berminat, nanti dm aku yaa

Thanks for reading  ....

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang