18. Dilabrak

5.9K 612 18
                                    

Duduk bersila di ranjang dengan ponsel yang ada di depannya, Ify berkali-kali menghela napas panjang. Tangannya dengan cepat mengambil ponsel saat terdengar bunyi notifikasi, lalu menghela napas kecewa setelah melihatnya.

"Gue ngapain, sih?" rutuknya.

Ify kemudian membaringkan diri, membiarkan ponselnya dalam keadaan terkunci di kaki ranjang. Matanya menerawang menatap langit-lagit, mencoba mendistrak pikiran yang sejak tadi gentayangan di otaknya.

Sudah pukul sepuluh malam. Memang lebih baik dirinya tidur karena besok masih shift pagi.

Ify memejamkan mata. Menghitung domba berharap ia segera tertidur seperti biasa, tapi sial sekali matanya tak bisa diajak bekerja sama. 

Ting!

Mata Ify kembali terbuka lebar. Tubuhnya tanpa diperintah refleks bangkit dan mengambil ponsel, membuka kunci lalu melihat pesan masuk.

P. Lintang Headchef :

Ify, saya besok ijin cuti mendadak karena nenek saya meninggal. Saya sudah ijin cuti ke Pak Bagas dan diapprove. Tapi Bu Dea tidak bisa menggantikan posisi saya besok, jadi untuk sementara dapur saya serahkan ke kamu. Mungkin besok seharian saya tidak bisa dihubungi. Kalau ada apa-apa  langsung ke Pak Bagas, ya! Sorry and good night!

Sialaaaann!!!

Ify menggeram kesal dan membanting tubuhnya ke kasur. Ponsel ia lempar hingga jatuh dari kasur dan beruntung mendarat di karet yang lumayan tebal. Mengacak rambutnya frustasi, Ify ingin sekali mengacak-acak bumi.

"Pembohong! Katanya mau jelasin mana, ha? Harusnya nggak usah janji kalau gak bisa menuhin, bangsaattt!"

Ify berguling-guling di kasur hingga spreinya berantakan. Ia benar-benar kesal tingkat dewa. Jika tak ingat dirinya miskin, Ify ingin menghancurkan seisi kamar.

Tok! Tok! Tok!

"Kak, lo nggak apa-apa?"

Kegiatan Ify terhenti saat pintunya diketuk. Ray sepertinya mendengar keributan yang ia ciptakan.

"Nggak apa-apa, nggak usah khawatir," jawab Ify tanpa berniat membuka pintu.

"Dih, siapa yang khawatir? Berisik, Kak! Udah malem nggak usah ngereog."

Double sialaaaann!!

"Bodo amat, dah! Pergi sono! Katanya besok mulai ospek. Sampai kesiangan ogah bangunin gue."

"Makanya jangan berisik, gue nggak bisa tidur."

"Iyaa iyaa."

Lalu suara langkah kaki terdengar menjauh, membuat Ify lagi-lagi menghela napas panjang. Sepertinya ia memang tak seharusnya berharap. Memangnya dirinya siapa? Harusnya Ify tak lagi memakan mentah-mentah janji dari laki-laki. Saat janji tak ditepati, ekspektasi tak sesuai, maka hanya luka yang bisa ia terima.

Ify memejamkan mata, berdamai dengan hati dan perlahan terbuai dalam mimpi.

*

Restoran tanpa head chef benar-benar melelahkan. Ify harus menjalankan peran ganda demi sebuah tanggungjawab yang tiba-tiba dibebankan padanya. Namun di sisi lain Ify bersyukur karena dengan dirinya yang sangat sibuk, ia tak punya waktu untuk berpikir.

Sejak tadi malam, Ify tak membuka ponsel sama sekali. Ia hanya mengambil ponsel yang tergeletak di lantai dan menaruhnya di tas. Sampai di restoran, ia pun cepat berganti baju dan langsung sibuk mempersiapkan restoran yang akan segera buka.

Saat makan siang pun, Ify tak sempat menengok ponsel. Usai makan siang, ia dipanggil Pak Bagas untuk diskusi tentang supplier kemarin. Karena Ify yang menggantikan posisi Lintang, maka Ify pun mau tak mau harus ikut mengambil keputusan, karena setelah diadakan pertemuan dengan supplier sayuran, mereka terus menyangkal dan justru menyalahkan restoran dan menuduh yang tidak-tidak. Pembicaraan itu tidak ada hasil, membuat Bagas akhirnya memutuskan untuk berganti supplier, meminta pendapat Ify yang mungkin saja mengenal supplier sayuran profesional dan hasil yang bermutu.

Saat restoran kembali dibuka, Ify baru turun dan kembali sibuk karena kiriman seafood datang.

Barulah saat pukul setengah dua, Chef Dea dan rekan-rekan shift sore datang, Ify bisa bersantai.

Bersiap untuk pulang, Ify mengambil tasnya di loker. Merogoh ponsel dan terbelalak kaget saat mendapati puluhan pesan dan panggilan tak terjawab.

Semua dari Rio.

Ify berniat membaca semua pesan Rio saat sampai di apartemen. Selesai membersihkan diri lalu merebahkan diri di kasur. Saat seperti itu, ia barulah merasa siap untuk membaca pesan dari Rio yang mungkin berisi penjelasan soal kemarin.

Usai berpamitan dengan rekan kerja, Ify dan Sivia melangkah beriringan keluar dari restoran. Keduanya akan berpisah di depan pintu karena Sivia membawa motor yang diparkir di basement, sementara Ify tinggal berjalan sedikit ke jembatan penyeberangan dan sampai ke apartemennya yang ada di seberang.

"HEH KAMU!"

Ya Tuhan! Ify ingin menjerit penuh permohonan. Ia sudah cukup lelah dan kini harus menghadapi seseorang yang sama sekali tak ingin ia temui.

"Mau ngapain tante lampir itu kesini?" Sivia urung melanjutkan langkahnya, berdiri di samping Ify melihat seorang perempuan yang berjalan ke arah mereka dengan wajah mengeras dan mata melotot.

"Ternyata ini tempat kerja kamu, ya!" Nada remeh terdengar saat perempuan itu berbicara.

"Ya, ada perlu dengan saya?" Ify mencoba meladeni dengan tenang meski di dalam ia ingin sekali mencekik perempuan ini sebagai pelampiasan emosinya.

"Aku kasih kamu peringatan, jangan dekat-dekat dengan Rio lagi. Urusan kalian sudah selesai bukan? Aku tau kamu miskin, tapi apa nggak malu kalau sampai ngancem Rio cuma gara-gara kamu berjasa nemuin anaknya?"

Ify memijat hidungnya lelah. "Dengar Mbak Shilla! Pertama, saya memang tidak terlalu dekat dengan Pak Rio. Kedua, saya tidak mengancam siapapun. Ketiga, saya tidak kenal dengan Anda. Jadi, tolong berhenti sampai di sini, karena saya lelah dan ingin segera pulang."

"Aku tidak percaya! Kamu pasti gatel mau deket-deket sama Rio kan? Ngambil kesempatan mumpung Rio berhutang budi sama kamu?"

Sivia berdecak. Perdebatan ini ikut membuatnya geram.

"Memangnya lo siapanya Pak Rio, hah? Kenapa lo harus ngelarang sahabat gue buat deket-dekat? Dan setahu gue, bukan Ify yang ngebet buat deket, tapi Pak Rio sendiri." Sivia berucap, mewakili Ify yang sudah merasa pening.

"Kalian memang kumpulan sampah miskin menjijikkan! Coba sebut butuh berapa, tapi habis itu jangan dekat-dekat sama Rio. Asal kalian tahu, aku ini calon istrinya."

Sivia terkekeh. "Oh ya? Calon istri yang ditinggal di restoran?"

Shilla menggeretakkan giginya geram. Baru kali ini ia diremehkan. Tangannya yang mengepal, terbuka dan bersiap untuk menampar Sivia.

Plakk!

Sivia membuka mata saat ia tak merasakan sakit padahal bunyi tamparan terdengar sangat keras. Ia kemudian terbelalak saat punggung Ify kini ada di hadapannya.

"Sudah puas belum, Mbak Shilla?" tanya Ify lirih.

Shilla melotot, tapi ia tak menyesal. "Memang kamu pantas mendapat tamparan agar sadar posisi kamu di mana. Kamu sama sekali tidak cocok dengan Rio, dasar miskin!"

"SHILLA!"

Teriakan menggelegar datang dari arah belakang. Ify tak punya daya lagi untuk menoleh. Ia hanya merasa pandangannya berkunang-kunang dan semuanya gelap. Seseorang memanggil namanya adalah yang terakhir ia dengar sebelum ia tak sadarkan diri.

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang