29. Luka Lama

5.4K 506 20
                                    

Ify berjalan perlahan mengekori langkah Rio yang berjalan dengan ragu di depan. Matanya mengedar melihat etalase yang menampilkan berbagai macam perhiasan. Dari yang desain sederhana hingga mewah, emas hingga berlian.

Ify hanya mampu meneguk ludahnya membayangkan harga yang akan dikeluarkan. Matanya kemudian terpaku ke satu set perhiasan dibalik etalase. Set berlian berkilauan yang Ify taksir harganya mungkin bisa untuk dirinya bertahan hidup hingga tua. Desainnya begitu elegan dan tidak norak. Ify meraba lehernya yang kosong. Ck, Ify kemudian menggelengkan kepalanya. Ia di sini diminta Rio untuk membantu memilihkan perhiasan yang akan digunakan oleh Rio sebagai hadiah ulang tahun sang ibu. Maka, Ify harus fokus dengan perhiasan yang cocok untuk wanita paruh baya cantik itu.

Rio yang merasa Ify tak lagi berjalan di belakangnya kemudian berhenti dan menoleh. Matanya menyipit melihat Ify yang tengah mengamati sebuah set berlian yang menurut Rio tidak cocok untuk wanita seusia ibunya. Jadi, Rio bisa menyimpulkan jika yang tertarik dengan berlian itu adalah Ify sendiri. Rio menarik senyum simpul dan terkekeh lirih saat melihat Ify yang menepuk-nepuk pipinya sendiri, seolah menyadarkan diri dari keterpesonaannya kepada berlian di depannya. Rio kemudian berbalik dan berpura-pura melihat perhiasan di etalase saat Ify berlari kecil menyusulnya.

"Mas, udah nemu yang cocok?" tanya Ify begitu sudah ada di samping Rio.

Rio menoleh kemudian menggeleng. "Aku tidak terlalu mengerti, apa kamu menemukan yang menarik?" pancing Rio.

Ify menggeleng. "Ada satu set perhiasan yang cantik dan elegan, tapi kurang cocok untuk Tante, mungkin kita bisa berkeliling sedikit lagi siapa tau ada yang bagus."

Kini Ify berjalan terlebih dahulu. Ia lebih fokus melihat semua koleksi perhiasan dan sesekali melihat katalog yang tersedia di atas etalase. Wajahnya begitu serius, sesekali mengerutkan kening seolah berpikir, kemudian menggeleng. Rio tersenyum melihat tingkah Ify. Lucu.

"Aahh!" Ify menjerit, Rio yang kaget kemudian mendekat dengan cepat.

"Lihat, Mas! Aku nemu yang cocok buat Tante." Ify dengan raut bahagia memperlihatkan sebuah gambar di katalog.

Rio tersenyum, matanya ikut melihat gambar di katalog dan mengangguk mengiyakan. Ia memang tak salah saat mengajak Ify untuk ikut memilih hadiah untuk ibunya. Pilihan Ify terasa begitu pas dan cocok untuk ibunya. Lantas, tanpa menunggu lagi, Rio pun meminta kepada karyawan untuk membungkusnya sebagai hadiah.

Ify terdiam dengan mulut menganga saat sang karyawan menyebutkan harga dan Rio tanpa protes mengeluarkan kartunya.

Gila!

Ify pikir harga termahal adalah ratusan juta, tapi koleksi berlian yang ia pilih sebagai hadiah untuk ibu Rio tadi dibandrol dengan harga yang lebih gila.

1,2 miliar!

Ify merasa lututnya melemas. Apalagi saat Rio menyerahkan paperbag kepadanya untuk meminta tolong dibawakan karena ponselnya berbunyi. Ingin rasanya Ify berteriak 'GUE NGGAK SANGGUP ANJIRR! KALAU ADA RAMPOK ATAU BARANG INI HILANG GIMANA GUE GANTINYA? GUE GA PUNYA APA-APA KECUALI NYAWA!'

Namun Rio seolah tak peduli dan berjalan agak menjauh dari Ify untuk menerima panggilan telepon.

Ify mendekap paperbag itu erat tapi tidak sampai penyok. Melihat Rio yang ber telepon dan sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah. Ify ingin mendekat saat Rio tiba-tiba berlari keluar meninggalkan Ify. Ify berteriak, tapi sepertinya Rio tak mendengar.

Ify yang bingung tetap berdiam diri di toko perhiasan. Tersenyum sungkan keada karyawan yang justru menawarkan tempat duduk. Ify berpikir sejenak, berniat untuk menyusul Rio tapi ia tak tahu kemana laki-laki itu pergi, dan pulang sendirian dengan membawa perhiasan seharga miliaran rupiah tentu bukan pilihan yang bagus. Akhirnya Ify pun pasrah dan menunggu Rio di dalam toko.

*

Rio sampai di rumahnya hanya dalam waktu sepuluh menit. Tanpa memikirkan  mobilnya yang terparkir sembarangan, ayah satu anak itu turun dengan tergesa dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, ia bisa melihat entitas lain yang duduk dengan anggun, tetapi situasi yang ada begitu mencekam dan memanas.

Atan yang berada di pelukan sang oma menghambur ke arah sang ayah. Ia tak terlalu paham dengan apa yang terjadi, membuat Rio menyambutnya dalam pelukan dan memberikan usapan sayang di kepala belakangnya.

"Ada apa?" tanya Rio dingin, menatap wanita di depannya tanpa repot menyebut nama.

"Bukankah sudah jelas bagi seorang ibu untuk menjenguk anaknya?" Suaranya lembut, tapi Rio muak.

"Apakah kamu merasa menjadi ibu setelah menelantarkan anak yang baru kau lahirkan?" Rio memberi isyarat kepada salah satu ART untuk membawa Atan bermain di ruangannya.

Setelah Atan pergi, Rio duduk di sofa di sebelah orangtuanya yang juga sudah geram. Apalagi mereka yang pertama kali menemui wanita itu.

"Perkataanmu sangat menyakitkan, Azrio!"

Rio mengepalkan tangannya yang gemetar. Giginya gemelatuk dengan rahang mengeras. Takut dan marah bercampur menjadi satu membuat dadanya meletup-letup dengan jantung berdegup cepat.

"Apa kau tidak memikirkan ucapanmu yang lebih menyakitkan saat menyebut kami pembawa sial?"

Keadaan hening, tak ada yang membuka suara karena tak menyangka Rio akan mengorek luka lama.

"Tidak bisakah kita melupakan masa lalu? Aku ingin menjadi ibu yang baik buat Nathan sekarang," pinta wanita itu dengan puppy eyes berharap orang-orang di depannya itu akan luluh.

"Agni," Rio berucap pelan penuh peringatan. "Apa kau lupa dengan surat perjanjian setelah kita bercerai? Kau tidak diijinkan untuk menemui apalagi mengaku sebagai ibunya. Kau juga setuju setelah aku memberimu ganti rugi yang sangat besar. Kau bahkan tidak berpikir dua kali sebelum meninggalkan darah dagingmu sendiri." Rio berhenti sejenak dengan napas memburu, mencoba untuk mengontrol kemarahannya yang meluap. "Empat tahun sudah berlalu dan seharusnya kau tidak pernah datang sampai kapanpun."

"Azrio, aku tau aku salah. Saat itu aku sangat marah begitu mendapati kenyataan kalau aku tidak akan bisa punya anak lagi. Semua yang kulakukan karena aku emosi. Sekarang, aku hanya punya Nathan dan kamu, aku tidak mau kehilangan kalian lagi." Agni mengusap satu air mata yang jatuh di pipinya.

"Butuh empat tahun?" sinis Rio. Ia sudah tak bisa lagi memberikan maklumnya kepada wanita yang sudah menorehkan luka terbesar untuknya. "Aku terima kalau kau mengatakan aku yang pembawa sial. Silakan katakan aku sepuasmu, tapi kau dengan tidak punya hati juga mengatai anakmu sendiri sebagai pembawa sial padahal dia baru saja lahir ke dunia."

Rio mengambil napas panjang. "Pergi, Agni! Kami tidak menerimamu lagi. Kami sudah bahagia tanpamu, dan Atan tidak membutuhkan sosok ibu sepertimu."

Rio memejamkan mata saat merasakan usapan lembut sang ibu di atas kepalan tangannya. Seolah memberikan kekuatan agar keputusannya tidak goyah meski Agni kini tengah bersimpuh di kakinya dengan tangis yang menyayat hati.

"Pergi, Agni! Dan jangan ganggu kami lagi atau aku akan melaporkanmu ke polisi sesuai dengan surat perjanjian kita."

Rio lantas memanggil  bodyguard untuk membawa Agni keluar. Ia menulikan telinganya meski mendengar Agni yang terus berteriak dan memohon.

"Good job, Son!" Rio membuka mata, lalu tersenyum tipis melihat sang ayah yang menatapnya bangga. Ia juga melihat ke arah sang ibu yang matanya berkaca-kaca.

"Maafin Rio ya Ma, Pa! Rio selalu nyusahin kalian."

"Hush! Kamu ini ngomong apa, toh? Ndak ada merepotkan di kamus orangtua dan anak. Kamu sudah hebat! Mama bangga sama kamu."

Rio tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Ia memeluk sang ibu dengan sayang.

"Oh ya, Nak Ify dimana? Bukannya kamu tadi keluar sama dia?"

Mendengar pertanyaan sang ibu, saat itulah Rio baru ingat jika ia meninggalkan Ify di toko perhiasan.

"Ma, Pa, Rio pergi dulu!" Lalu tanpa menunggu jawaban, Rio melesat pergi dengan terburu-buru. Ia merasa sangat bersalah kepada Ify sekarang.

*

Random question

Kalau ini ada versi bukunya gimana???

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang