24. Nasib Alvin

5.3K 518 8
                                    

Ify menyadarkan tubuhnya di sofa. Setelah insiden tadi, Rio sudah lebih baik. Tak lagi gemetar dan kini sedang tertidur di paha Ify dengan napas yang teratur. Ify tak tahu, apa yang menimpa laki-laki berkharisma ini sehingga begitu berantakan, tapi Ify tahu jika Rio tengah sakit. Maka tak ada yang bisa dilakukan Ify kecuali menawarkan bahu dan pelukan untuk Rio yang tengah terluka.

Ify juga tak berani menanyakan apapun, hanya memberikan usapan pelan di kepala Rio hingga tertidur. Ify mencabut tisu dan mengelap keringat yang membasahi pelipis dan leher. Wajah rupawan itu terlihat sangat pucat. Sorot mata yang biasanya menatapnya dengan teduh tertutup dalam kelopak mata yang sesekali berkedut. Hidungnya yang mancung membuat Ify tergerak untuk menyentuhnya pelan.

Sempurna.

Adalah kata yang menggambarkan fisik Rio.

Tapi bagaimana pun, tidak ada manusia yang sempurna, dan Ify sudah diperlihatkan bagaimana manusia yang terlihat sempurna itu kini tak berdaya.

Ify tersentak saat tangannya yang tengah menyentuh garis hidung milik Rio ditangkap sang empunya.

"Apa kau menyukai apa yang kau lihat dan sentuh?" Suara serak Rio bersamaan dengan kelopak mata terbuka membuat Ify gelagapan.

Sial, kenapa harus bangun di saat yang tidak tepat? Ingin rasanya Ify mengubur diri.

Rio kemudian terkekeh melihat Ify yang salah tingkah. Bukannya bangun, ia justru memiringkan tubuhnya dan mengusalkan wajah di perut Ify dengan kedua tangan yang melingkar erat di pinggang gadis itu.

Ify yang menerima perlakuan itu tentu saja kaget setengah mati. Ini adalah posisi paling intim mereka berdua selama ini, meski mereka sudah pernah berciuman. Ah tidak, lebih tepatnya kecupan karena menempel hanya beberapa detik.

"M-mas, kamu ... ngapain?" tanya Ify tergagap.

"Sebentar saja, Fy! Rasanya nyaman."

Lantas Ify pun tak lagi protes. Ia membiarkan Rio tetap dalam posisi itu hingga suara ketukan pintu terdengar.

"Ah, pasti makanannya sudah datang." seru Ify, ingin menghilangkan kecanggungan dan menyudahi aktifitas Rio yang tak berhenti mengusal hingga ia merasa geli.

"Kamu beli makan?" Rio mendongak.

Ify mengangguk. "Kau pasti belum makan dan saat ini sudah waktunya makan siang. Bangun dulu! Aku akan mengambil makanannya di luar."

Rio pun menurut, mengangkat tubuhnya hingga posisi duduk dan membiarkan Ify bangkit.

"Eh!"

Mungkin karena terlalu lama duduk dengan beban di paha, Ify tiba-tiba merasa kram saat berdiri hingga hampir saja terjatuh jika Rio tak segera menangkapnya. Tapi karena Rio yang juga belum terlalu stabil karena baru saja bangun tidur tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya hingga mereka terjatuh di sofa dengan Ify yang berada di bawah dan Rio di atasnya.

Ceklek!

Pintu terbuka dengan Alvin yang melongo dan cepat-cepat menutup pintu melihat pemandangan di hadapannya. Mengutuk dirinya sendiri karena tak sabaran sehingga langsung membuka pintu padahal belum ada ijin sejak ia mengetuk.

Awkward.

Rio segera bangkit dari atas Ify lantas berdehem, mencoba menghilangkan rasa gugup yang membuat jantungnya berdegup kencang.

Ify juga segera duduk, memalingkan wajah karena ia yakin saat ini ia pasti tak ubahnya seperti kepiting rebus. Jantungnya serasa ingin melompat keluar karena detaknya begitu kencang hingga terasa sedikit sakit.

"Aku saja yang mengambil makanannya."

Rio kemudian berjalan keluar, menuju meja Alvin yang tak dihuni oleh sang empunya dan mengambil box makanan yang ada di meja.

Rio dan Ify makan dalam diam. Benar-benar suasana yang tidak mengenakkan. Padahal makanan yang ada di hadapannya adalah makanan yang lezat dan mahal yang sengaja Ify pesan dari hotel bintang lima (meskipun harus menguras dompet) karena ia juga tak tahu bagaimana selera Rio. Selama ini, Rio selalu makan masakannya dengan antusias, tapi tak pernah tahu selera makan Rio jika di luar.

"Apa makanannya enak?" tanya Ify membuka percakapan.

"Tidak seenak masakanmu," jawab Rio.

Ify bisa merasakan bibirnya berkedut, tapi sebisa mungkin ia tahan dan bersikap biasa.

Keduanya menyelesaikan makan dengan cepat, Ify sedang membereskan bekas makan yang ada di meja saat Rio memanggilnya.

"Kenapa?" tanya Ify dengan kening mengkerut, tak mengerti dengan tatapan Rio padanya.

"Makasih," ucap Rio tulus.

Ify menyunggingkan senyum. "Tak masalah, kebetulan aku juga sedang libur."

"Jadi setelah ini kau tak ada kegiatan?"

Ify menggeleng. Rio tampak berpikir sejenak sebelum kemudian bangkit dari duduknya.

"Ayo!"

Ify memandang Rio tak mengerti. Tangannya berhenti memasukkan sampah ke dalam kantong kresek.

"Kemana?"

"Nanti kau akan tahu." Lalu tanpa permisi Rio menggenggam tangan Ify dan berjalan keluar ruangan. Ify hanya menurut dengan heran. Di sana, sudah disambut dengan Alvin yang beberapa kali menghindari kontak mata dengan Rio ataupun Ify. Hari ini, ia menyaksikan hal-hal yang tidak seharusnya ia saksikan dan merasa sangat canggung.

"Batalkan semua jadwal saya setelah ini. Jika ada rapat darurat wakilin saya, dan laporkan hasilnya besok. Saya tidak akan kembali ke kantor setelah ini."

"Tapi Pak--"

"Saya tidak menerima bantahan, Alvin! Jika ada yang ingin menemui saya katakan saja saya ada urusan yang lebih penting."

Lalu tanpa mendengarkan protesan dari sang sekretaris, Rio keluar dengan Ify yang masih bingung.

Alvin hanya menghela napas pasrah. Setelah ini, mereka ada rapat evaluasi untuk resort mereka di Bali, dan satu jam setelahnya bertemu dengan klien dari Jepang. Tapi sepertinya, Alvin harus membatalkan semuanya.

"Nasiibb, nasiibb," gerutunya.

Belum juga selesai meratapi nasib, telepon kantor berdering.  Alvin dengan sedikit malas mengangkatnya.

"Dengan kantor sekretaris di sini," sapa Alvin yang tetap mempertahankan profesionalitas meski hati gondok setengah mati.

"Pak, ada pemberitahuan dari pihak Mr. Fuji, mereka meminta pertemuan dimajukan satu jam karena Mr. Fuji ingin ke Bali sebelum kembali ke Jepang."

Alvin mengurut keningnya. "Bilang ke pihak Mr. Fuji, sepertinya pertemuan harus diundur, Pak Rio sedang ada urusan genting dan tidak bisa menghadiri pertemuan."

"Sepertinya pihak Mr. Fuji akan marah, Pak! Beliau rela datang ke Indonesia demi pertemuan ini."

Alvin terdiam sembari menggigit bibir, menimang keputusan terbaik apa yang bisa ia ambil dalam kondisi ini. Meski kini di otaknya sudah penuh dengan makian dan gerutuan, pasalnya kerjasama ini bernilai ratusan juta. Kalau sampai batal, maka perusahaan akan merugi.

Ya tahu, kerugian segitu tidak akan membuat Rio bangkrut, tapi tetap saja ... Alvin merasa sayang jika harus kehilangan apa yang sudah ada di depan mata.

"Minggu depan, kita yang akan ke Jepang untuk pertemuan selanjutnya. Bilang ke pihak Mr. Fuji-- ah tidak! Aku sendiri yang akan menelepon Mr. Fuji dan meminta maaf untuk ini."

Alvin menutup telepon lantas menghempaskan tubuhnya ke kursi. Ia perlu menyiapkan mental sebelum kena semprot dari dua pihak. Dari Mr. Fuji yang pastinya akan merasa dipermainkan, dan dari bosnya sendiri karena dia membuat jadwal perjalanan ke luar negeri tanpa persetujuannya.

"Hah nasiibbb ... nasiibbb!"

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang