Sepulang dari rumah Sameer beberapa hari yang lalu, keadaan Tara tidak lagi sama. Tara menjadi lebih pendiam dari biasanya, bahkan menjawab pertanyaan dari anggota keluarganya pun hanya sekedar mengangguk ataupun menggeleng. Melamun juga tampaknya sudah menjadi rutinitas baru Tara.
Celine yang kembali melihat Tara sering melamun pun justru merasa bersyukur, karena itu artinya, Tara kembali menjadi dirinya yang dulu, sebelum Sameer datang. Celine pikir, otak Tara kembali merancang berbagai scene dari novel yang sering dibacanya, bersama AU pujaan hatinya.
Namun, tidak dengan Winda. Ibunda Tara itu tau jika ada yang tidak beres dengan anaknya. Terlebih lagi, jika diperhatikan, akhir-akhir ini putri bungsunya itu tampak sering menangis, terlihat dari mata yang sedikit membengkak.
"Tara." Panggil Winda pelan sambil mengetuk pintu kamar putri bungsunya.
"Ya?" Sahut Tara dari dalam kamar.
"Boleh bunda masuk?"
Tara pun beranjak membuka pintu kamarnya untuk sang ibunda. Setelah keduanya berada di dalam kamar, Winda kembali menutup pintu kamar Tara. Keduanya lalu duduk di atas ranjang Tara.
Winda menggenggam tangan Tara lembut dan tersenyum menenangkan. "Gimana kuliah Tara hari ini? Maaf ya, bunda baru pulang dan baru sempet tanya."
"Biasa aja bunda." Jawab Tara pelan sambil menunduk.
"Oh ya? Capek nggak? Mau bunda pijitin?" Tawar Winda.
Tara menggeleng pelan. "Nggak perlu."
Winda menghela napas sebentar, tampaknya Tara masih belum mau bercerita apapun kepadanya. "Boleh bunda peluk Tara?"
Hening sejenak.
Winda bisa melihat Tara seperti tampak menimbang tawarannya, sebelum akhirnya Tara mengangguk dan langsung memeluknya.
Winda membelai rambut panjang Tara dengan lembut. Hingga beberapa saat kemudian, Winda merasakan tubuh Tara bergetar dan pundaknya basah. Putri bungsunya menangis. Winda tidak mengatakan apapun, hanya bisa mengeratkan pelukannya, berharap hal itu bisa mengurangi sedikit kesedihan Tara.
"Bunda nggak akan tanya apapun, bunda akan tunggu sampai Tara siap buat cerita. Tara harus tau, bunda selalu disini, siap untuk mendengarkan." Bisik Winda lembut.
Cukup lama keduanya dalam posisi berpelukan. Sebenarnya, Winda tidak tega, namun dia juga tidak bisa memaksa Tara untuk bercerita.
"Bun? Bunda? Sayang? Bunda kamu dimana? Ayah mau minta tolong nih!"
Suara sang kepala keluarga membuat Winda dan Tara segera melepaskan pelukannya.
"Ayah manggil bunda." Ujar Tara pelan.
Winda mengusap lembut kedua mata Tara yang basah. "Nanti bunda kesini lagi."
Tara hanya mengangguk.
Setelah menyempatkan untuk mengecup kening, mata dan kedua pipi Tara, Winda pun keluar dari kamar Tara, menemui sang suami yang masih berseru memanggilnya.
Begitu bundanya pergi dari kamar, Tara merebahkan tubuhnya. Mencari posisi yang nyaman untuk mengistirahatkan raga dan batinnya. Berusaha memejamkan mata, walaupun rasanya sangat sulit, karena seluruh atensi pikirannya masih terngiang-ngiang ucapan Sameer tempo hari.
"Lupain Tara... Inget bunga dandelion yang selalu kuat bertahan pada tangkainya, walaupun ketiup angin..."
Tanpa diminta, air mata Tara kembali mengalir, bahkan kali ini sampai sesenggukan.
"Sakit... kenapa rasanya sakit banget sih..."
Tara memukul-mukul dada kirinya yang terasa berdenyut setiap kali mengingat apa yang dikatakan Sameer. Air mata Tara benar-benar tidak bisa berhenti mengalir, hingga dirinya akhirnya tertidur dengan bantal yang sudah basah dan mata yang kemungkinan besar, besok akan kembali membengkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taste Of Love: Cheese
Teen FictionSUNGTARO GS LOKAL!!! AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Tara menyukai tiga hal di dunia ini: -Dandelion -Keju -Cowok AU Jika dandelion dan keju sudah Tuhan kabulkan untuk menghiasi hidu...