9. Demi Tara

512 69 9
                                    

Dua bulan berlalu, kondisi fisik Tara tampak jauh lebih baik. Namun tidak dengan psikisnya. Yudha dan Winda juga bekerja sama untuk menguatkan dan selalu mendukung Tara, seperti saran psikiater yang menangani Tara. Para kakak Tara pun juga selalu ada bersamanya, begitu juga dengan Celine. Karena memang, selama dua bulan ini, Tara hanya di rumah, Tara merasa belum berani jika harus masuk kuliah lagi. Ketakutannya akan kata-kata yang menusuk hati selalu menghantui pikirannya.

Tara juga akhir-akhir ini semakin menempel kepada Nana, begitu dia tau jika waktu persalinan Nana semakin dekat. Dan Nana pun tidak keberatan sama sekali, dia justru merasa senang dan bersyukur karena baby J menerima banyak cinta bahkan sebelum dia lahir.

"Kak Nana, nanti baby J, jadi dikasih nama siapa?" Tanya Tara saat keduanya sedang bersantai setelah sarapan bersama.

Inilah rutinitas keduanya selama satu bulan terakhir. Tara akan menemani Nana setelah sarapan bersama. Karena memang hanya ada mereka berdua di rumah, sedangkan penghuni yang lain mulai beraktifitas seperti biasa sejak satu bulan yang laly. Walaupun setiap satu jam sekali, ponsel keduanya akan saling berdering secara bergantian. Entah itu dari Winda, Yudha, Ivano, Zara, Rena dan Celine. Hanya untuk memastikan bahwa keduanya baik-baik saja.

"Hmm...siapa ya? Nggak tau juga, ayahnya baby J nggak ngasih tau sih mau kasih nama siapa."

Tara mengangguk mengerti. "Biar surprise kali ya kak?"

Ganti Nana yang mengangguk.

"Kalo kak Ivano kasih nama baby J, jadi Joko gimana kak?" Celetuk Tara.

"Ih, masa Joko sih! Ini kan udah bukan jaman Majapahit, ya kali namanya Joko! Ogah ah!"

"Ya kan misalnya doang kak, sapa tau kak Ivano iseng."

"Enggak ah, jangan sampe deh! Kalo beneran kasih nama Joko, kakak mau cerai aja sama dia!"

"Nggak boleh ngomong gitu kak! Nggak baik, kata bunda pamali." Tegur Tara.

"Jangan mikirin nama deh, kakak pusing."

"Kak Nana mau lahiran?" Seru Tara dengan nada terkejut.

"Cuma pusing Tara, kalo mau lahiran perutnya yang sakit, bukan kepalanya."

"Gitu ya..." Tara hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kamu nih..." Nana mencubit pelan pipi Tara.

Keduanya pun lalu terdiam.

"Kak... Kak Nana kan kuliah perawat..." Panggil Tara pelan.

"Masih calon, emang kenapa?" Sahut Nana.

"Tara mau diet, minta tips ya? Pasti kakak tau kan soal gizi." Pinta Tara dengan wajah yang memelas.

Nana sedikit terkejut mendengar permintaan Tara. "Kamu yakin?" Tanya Nana pelan-pelan.

Tara meringis kecil. "Nggak meyakinkan ya?"

"Bukan gitu, kakak cuma kaget aja kamu tiba-tiba pengen diet." Nana melihat Tara yang menundukkan kepalanya, lalu menggenggam tangannya. "Tara... diet itu nggak mudah, hanya karena ada yang ngejudge soal tubuh kamu bukan berarti kamu harus dengerin mereka. Kakak nggak mau liat kamu nyiksa diri dengan menahan buat nggak makan makanan kesukaan kamu. Cukup jadi diri kamu sendiri aja, nggak perlu dengerin orang lain. Ini hidup kamu, kamu yang ngejalanin. Tapi...kalau kamu emang udah bertekad, kakak akan siap buat bantu."

Tara diam merenungkan kata-kata Nana, sebelum akhirnya mengangguk meyakinkan.

"Inget ya Tara, diet itu butuh kedisiplinan. Jadi, kakak mungkin bakal sedikit keras sama kamu. Kakak tanya sekali lagi, kamu yakin?"

Taste Of Love: CheeseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang