Yudha, Winda dan si kembar Rena-Nana menunggu kedatangan si bungsu di ruang tamu. Namun, tidak dengan Nana, dia sedang menunggu suaminya yang hari ini mendapat shift sore.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan. Seharusnya Tara sudah sampai di rumah setengah jam yang lalu. Biasanya, si bungsu itu paling penurut dibandingkan kakak-kakaknya yang lain. Tapi ini apa, Tara sudah telat setengah jam dari waktu yang diberikan oleh Yudha.
"Ayah susul aja deh! Udah jam sembilan, masa gak pulang-pulang. Ditelpon juga nggak aktif."
"Nggak ada baterai kali ponselnya, terus lagi nunggu gojek kali ayah, pakai telpon punya temennya, lagian baru telat setengah jam doang! Mungkin Tara masih pengen bareng temen-temennya. Ayah mah parnoan!" Celetuk Rena.
"Bisa jadi Tara pulang sama suami Nana. Tara bilang, dia mau ke cafe Dream kan?" Sahut Nana.
"Bisa jadi sih Yah." Tambah Winda.
"Kalo nunggu suamimu, jam sebelas dong baru pulang! Nggak! Nggak bisa! Kayak cewek apaan aja, pulang malem-malem! Ayah mau susulin aja!"
"Nana tanyain Nono dulu aja, siapa tau Tara udah otw pulang."
"Ya udah cepetan!"
"Dih, giliran Tara telat setengah jam langsung kelimpungan. Kak Zara yang sampe nginep di kantor kok gak dicariin?" Cibir Rena.
"Kata siapa! Ayah gak pernah kasih ijin Zara buat nginep-nginep di tempat lain, kayak gak punya rumah aja! Ayah selalu jemput kak Zara kalo jam dua belas belum pulang juga! Makanya ikut, kalo ayah jemput kak Zara malem-malem."
"Protektif amat! Padahal kak Zara juga bawa mobil sendiri." Gumam Rena, namun masih bisa didengar oleh Yudha.
"Ayah protektif gini aja masih kebobolan. Apalagi kalo ayah kasih kalian kebebasan!"
Nana berdecak sebal. "Nyindir nih ceritanya?"
"Udah cepetan tanyain suamimu sana, Tara udah pulang nggak!" Titah Yudha tak sabaran.
"Iyaaa..." Nana pun mengetikkan pesan kepada Ivano untuk menanyakan tentang Tara.
Setelah beberapa saat menunggu balasan, Nana segera membuka pesan balasan dari Ivano begitu mendengar ponselnya berbunyi. Wajah Nana mendadak tegang saat membaca pesan suaminya yang mengatakan bahwa dirinya tidak melihat Tara sama sekali, bahkan Ivano juga mengatakan jika dirinya sudah bertanya kepada teman-temannya untuk memastikan bahwa Tara memang tidak datang ke cafe.
"Gimana? Apa kata suamimu?" Tanya Yudha.
Nana menatap ayahnya takut-takut. Gelagat Nana jelas mengundang tatapan curiga dari ayah, bunda dan Rena.
"Tara..."
"Tara kenapa? Yang jelas kalo ngomong Nana! Jangan setengah-setengah gitu!" Tegur Winda.
"Nono bilang, Tara nggak dateng ke cafe. Nono juga udah tanya sama temen-temen kerjanya yang lain, mereka juga gak ada ngeliat cewek yang ciri-cirinya kayak Tara dateng ke cafe." Jelas Nana.
"Adek Yah..." Winda meremat pundak suaminya.
Yudha berbalik dan dapat dilihatnya sang istri yang matanya tampak berkaca-kaca. "Ini salah bunda... harusnya bunda gak kasih ijin dia buat keluar... harusnya bunda ijinin ayah buat nganter Tara.... harusnya..."
Yudha menarik napas panjang. Ingin marah, namun tidak tau kepada siapa. Tanpa berkata apapun lagi, Yudha segera menarik Winda ke dalam pelukannya. "Ayah.... perasaan bunda nggak enak... Ayo cari Tara..." Winda berkata disela-sela tangisnya yang semakin tidak terkontrol.
"Biar ayah sendiri yang cari Tara, kamu diem di rumah aja."
Winda menggeleng ribut. "Bunda ikut!"
"Bunda di rumah aja." Pinta Rena.
Winda kembali menggeleng. "Bunda ikut!"
"Bunda... kondisi bunda lagi nggak baik, biar ayah aja yang cari Tara..." Kali ini Nana ikut menenangkan.
"KALIAN NGERTI APA! INI TARA! ADEK KALIAN, KALO ADA APA-APA GIMANA? POKOKNYA BUNDA MAU IKUT!"
Rena dan Nana terkejut mendengar bentakan Winda. Masalahnya, ini pertama kalinya sang ibunda membentak.
"Ya udah, Rena juga ikut!" Ujar Rena pelan.
"Nana juga!" Sahut Nana.
"Enggak! Kamu lagi hamil! Angin malam gak bagus buat bumil. Kamu di rumah aja, siapa tau nanti Tara pulang." Perintah Yudha.
"Ya udah, biar Nana ambilin bunda sama ayah jaket dulu."
Nana bergegas menuju kamar kedua orang tuanya untuk mengambilkan jaket yang biasanya digantung di belakang baju.
"Ini. Hati-hati." Ujar Nana sambil menyerahkan masing-masing jaket kepada kedua orang tuanya.
"Kamu juga hati-hati di rumah, kak Zara bentar lagi juga pulang. Jangan buka pintu kalo kamu gak kenal sama orangnya." Titah Yudha.
"Iya tau! Emang aku bocil apa!"
"Ya udah, kita berangkat dulu!"
Nana pun segera menutup pintu rumah, setelah mengantar kedua orang tuanya dan Rena ke depan.
***
"Adek gimana Yah? Udah satu setengah jam, tapi gak ketemu-ketemu juga!" Nada suara Winda terdengar begitu frustasi dari jok belakang mobil.
Rena yang disebelahnya hanya bisa menggenggam tangan ibundanya, mencoba menenangkan. Dalam hati, dirinya juga sama khawatirnya, namun tidak terlalu ditampakkan, dia hanya tidak ingin menambah beban pikiran ayah dan ibundanya.
Yudha tidak menjawab apapun, dan hanya fokus pada jalanan disekitar yang telah dilaluinya. Siapa tau, putri bungsunya itu sedang berjalan sendirian.
Selanjutnya, tidak ada percakapan yang terjadi diantara mereka. Hingga bunyi suara ponsel Rena menyapa indra pendengaran mereka. Setelah melihat siapa yang menelpon, Rena segera menerima panggilan tersebut.
"Nana telpon... Halo? A-apa?!"
Melihat Rena terkejut setelah menerima telpon dari Nana, Yudha dan Winda memfokuskan perhatiannya kepada Rena.
"Kenapa?" Tanya Winda begitu Rena mengakhiri panggilannya.
"Tara... pingsan... Temen kerja Ivano nggak sengaja nemuin dia pas mau buang sampah di belakang cafe Dream."
Tanpa berkata apapun, Yudha segera membanting setir, untuk memutar arah kembali ke cafe yang tadinya sudah mereka lewati.
Tidak lama, karena Yudha mengemudi dengan gila-gilaan. Hanya sepuluh menit, mobil yang dikendarainya pun sudah tiba di cafe, dengan parkir yang asal-asalan. Ketiganya bergegas masuk ke cafe, ketika melihat kerumunan di dalam cafe.
Tangis Winda menjadi histeris ketika melihat kondisi putri bungsunya. Tara dengan mata yang tertutup, kedua sudut bibir yang mengeluarkan darah, pipi yang lebam, dan rambut serta baju yang sudah acak-acakan. Sedangkan Rena hanya mampu menahan tangisnya melihat kondisi Tara. Dan Yudha hanya diam, ekspresi wajahnya tidak terbaca, namun matanya jelas tampak menyimpan dendam kepada siapapun yang telah membuat keadaan putri bungsunya seperti sekarang.
"Bunda harus tenang, kita bawa Tara ke rumah sakit ya?" Ivano merangkul ibu mertuanya yang tak henti-hentinya menangis sambil memeluk Tara.
"Nggak perlu!" Sahut Yudha masih dengan wajah datarnya. Membuat seluruh orang yang ada di ruangan cafe tersebut melihat kearahnya. "Bawa Tara pulang ke rumah, saya sendiri yang akan panggil dokter!"
Tidak ada yang membantah ucapan Yudha, termasuk Winda. Beberapa orang pun membantu untuk menggendong Tara ke dalam mobil untuk dibawa pulang.
Ivano melihat kepergian mertuanya dengan wajah yang tampak khawatir, hingga Dery menegurnya. "Pulang aja No."
"Hah, gak enak lah bang, masih kurang setengah jam ini!"
Dery berkacak pinggang. "Nurut aja kenapa sih? Udah sana pulang! Kasian itu keluarga lu!"
"Bener nih bang?"
"Lah, dikira gue becanda apa!"
"Ya udah, makasih ya bang!" Dengan secepat kilat, Ivano segera menanggalkan celemeknya, dan bergegas menuju tempat parkir karyawan untuk mengambil motornya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Taste Of Love: Cheese
Teen FictionSUNGTARO GS LOKAL!!! AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Tara menyukai tiga hal di dunia ini: -Dandelion -Keju -Cowok AU Jika dandelion dan keju sudah Tuhan kabulkan untuk menghiasi hidu...