(S2) 11

155 27 23
                                    

Lima hari telah lewat. Kini, Endy diperbolehkan untuk pulang walaupun bagian kakinya belum terlalu sehat. Saat ini Endy tengah duduk di kursi roda menonton Irene sedang merapikan ranjang dan bekas makanan di meja.

Usai merapikannya. Irene menggendong tas di punggungnya dan menempatkan kedua tangannya untuk mendorong kursi roda. Setelah itu Irene membawa Endy keluar rumah sakit, perlahan merangkul sang anak untuk masuk ke mobil. Selesai, Irene melipat kursi roda tersebut dan di masukkan dalam bagasi mobil.

"Buna, cepetan! Endy tidak sabar tuk tidur di kasur kesayangannya aku." Tegur Endy.

"Iya sayang." Irene menutup bagasi mobil dan duduk di kursi pengemudi.

Kemudian Irene menjalani mobilnya. Endy memandang ke arah luar dari dalam mobil. Ia menahan rasa untuk gerak terlalu berlebihan, tidak tahu apa yang dirasuki oleh Endy. Ia sangat merasa gatal ingin cepat-cepat sampai rumah. Yang seharusnya orang sakit hanya diam saja, ini berbanding balik pada Endy. Endy malah seperti terisi energi semangatnya untuk melakukan aktivitas.

Sampailah mereka di rumah. Irene membantu Endy untuk duduk di kursi roda. Menutup pintu mobil, Irene segera mengantarkan Endy masuk ke rumah.

"Kamu tunggu sini dulu ya. Buna mau ngeluarin barang yang masih di mobil." Endy mengangguk.

Irene pergi dan Endy pun menggerakkan ban kursi rodanya menuju kamarnya yang berada di lantai bawah. Membuka pintunya, Endy memasuki kamar dan mengarahkan dirinya ke kasur. Setelah itu dengan hati-hati ia bangkit dari kursi rodanya untuk pindah posisi ke atas kasur.

"Ha~~ akhirnya aku pulang. Sungguh rumah sakit adalah tempat tidak terenak dalam hidupku. Udah ah, aku gak mau sampai masuk rumah sakit lagi." Endy berkata kepada dirinya sendiri.

"Terus aku ngapain ya di kamar. Tidak seru, gak bisa main ke luar. Terpaksa main game di hp saja." Endy mengeluarkan ponselnya dan memainkan permainan sampai bosan.











































































































3 Jam kemudian. Kamar Endy terbuka menampilkan dua sosok lansia dengan wajah khawatir. Kedua orang tersebut pelan-pelan mendekati kasur  yang mendapati Endy sedang terlelap nyenyak. Wanita itu mengelus rambut Endy dengan lembut agar tidak membangunkannya.

"Cucuku, sungguh kamu ini membuatku dan kakek khawatir. Dasar anak nakal, untung nenek tidak jantungan. Kalau iya, mungkin sudah ludes nyawa nenek." Omel Kyung yu.

"Apalagi kakek, cu. Kakek hampir sesak napas saat mendengar cucu kesayangan kakek di rumah sakit. Dan itu alasan kita tidak langsung bergerak ke rumah sakit, karena kakek dan nenek belum siap liat betapa babak belurnya Endy."

"Ini saja, kakek sakit melihat kaki Endy di perban. Pasti sakit ya, cepat sembuh ya cucuku." Bongyang menanamkan sebuah kecupan sayang di kening Endy.

Endy sedikit tersenyum. Ya, Endy sebenarnya sudah terbangun. Tetapi ia sangat malas untuk membuka mata, alhasil dirinya memejamkan matanya saja. Dan sekarang saat ia di kunjungi oleh nenek dan kakeknya, Endy tidak bisa menahan senyumnya.

"Tidak apa-apa kakek, nek. Kehadiran kalian sekarang juga sudah bikin aku senang." Endy membuka mata dan menatap tulus kedua orang tersebut.

"Eh cucu nenek sudah bangun. Kata buna kamu belum makan ya, sini biar nenek suapin." Seru Kyung yu.

"Nenek bawa makanan apa?" Tanya Endy.

"Bawa bubur dan kue beras saja." Jawab Kyung yu.

"Woah! Ayo, cepat nek suapin aku." Endy berseri-seri.

Kyung yu tersenyum hangat seraya menyiapkan makanan untuk di sajikan pada cucunya.

"Buka mulutnya, aaaaa!" Kyung yu melayangkan suapan pertama ke mulut Endy.

Di terima lebar oleh mulut Endy. Ia mengunyah dengan penuh penghayatan, tak lama matanya terbuka lebar kala merasakan kenikmatan makanan itu.

"Umm~ so yummy!" Endy mengacungkan jempol menandakan bahwa makanan itu enak.

"Padahal ini hanya bubur, sayang." Ujar Kyung yu sembari mengelap noda di sudut bibir Endy.

"Tidak seperti bubur biasa. Buburnya terlalu enak, nenek."

Kyung yu hanya menggeleng dan lanjut menyuapi sang cucu. Bongyang duduk di sofa sambil menatap istrinya dan cucunya itu. Sedangkan Irene menonton dari bilik pintu yang sedikit terbuka dengan timbul senyum bahagia.

☀️  ☀️  ☀️   ☀️

Saat ini keempat orang itu tengah bersantai-santai. Ketenangan telah pecah ketika Endy mengatakan sesuatu.

"Kira-kira aku coba jalan bisa gak ya."

"Kaki kamu belum sepenuhnya sembuh, bayi-ku." Gemas Irene.

"Ih tapi kalau enggak aku coba, nanti masa aku harus ngulang merangkak lagi."

"Ya gapapa. Pasti kamu bakal lucu banget." Ucap Irene.

"Pliss buna, boleh ya?" Endy memberi tatapan memohon kepada Irene.

"Ah sudahlah, Buna memang tidak bisa menang dari kamu. Kemari, biar Buna bantu." Irene membimbing sang anak perlahan.

Walaupun rasa nyeri menggerogoti bagian kakinya itu. Endy mengabaikannya agar dirinya tidak terhalang cuma karena rasa sakit tersebut.

"Ayo, kamu pasti bisa! Anak buna kuat!" Disemangati oleh sang ibu membuat Endy termotivasi secara perlahan untuk melangkah tanpa pegangan.

Segala usaha dan tenaga, akhirnya Endy berhasil berjalan tanpa pegangan walaupun masih tertatih-tatih itu sudah menjadi poin akhir. Irene tersenyum bangga dan memberi pelukan pada anaknya.

"Yeay! Aku bisa!"

"Pelukan berdua? Bereempat lebih menantang." Sahut Bongyang dan Kyung yu bergabung memeluk anak-cucunya tersebut.

"Endy boleh jadi polisi aja gak?"

"Lah, kenapa?"

"Karena Endy mau punya badan besar."

"Kamu tinggi aja udah ideal, terus punya badan besar emang buat apa, hmm?"

"Biar banyak yang takut sama Endy, nek."

"Aduh nenek jadi takut nih, itu kan yang kamu mau."

"Itu mah nenek akting doang."

"Huhuhu mau badan besar..."

"Nanti buna beliin susu L-Men deh."

Bersambung...



Sumbangan Zuzu L-Men nya 🥛💪🏻

Nih misal kaga muncul lagi, berarti drafnya udah habis⊙﹏⊙

BUNA & ENDY (S1-END S2-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang