PART 1

76 3 0
                                    

"Vin."

Laki-laki yang dipanggil Vin itu hanya diam sambil mengenakan sepatunya, menghiraukan perempuan dengan dress ketat berwarna merah yang menempel ditubuhnya itu.

"Melvin, kamu denger aku gak sih?!"

"Apa?" Melvin berdiri setelah ia mengenakan sepatunya. "Mau apa lagi? Uang? Semalam saya sudah kasih kamu uang. Gak cukup?"

"Mobil aku perlu diservice," ujar perempuan itu.

"Mobil kamu bahkan belum dua bulan, garansinya masih ada," ujarnya sudah mulai kesal. "Sudah, saya pergi dulu."

"Vin, kamu gak mau nafkahin aku?"

Langkah Melvin terhenti. Tangannya menggenggam erat tas kerja yang ada ditangannya. Pria itu menoleh. "Kamu ngomongin nafkah, memangnya apa yang sudah kamu berikan pada saya? 3 tahun, Viona! Apa yang saya mau belum pernah kamu berikan!"

"Jadi kamu nyalahin aku?" tanya Viona. "Kamu mau aku melakukan apa, Vin? Aku bahkan sudah pergi ke dokter puluhan kali, tapi kamu bisa lihat sendiri hasilnya seperti apa. Kamu mau aku gimana lagi?"

Melvin menghela napas kasar ketika Viona—istrinya—mulai menangis.

"Kamu nggak pernah mikirin perasaan aku?"

"Sudah, Viona. Ini masih pagi dan saya sedang buru-buru." Melvin kembali melanjutkan langkahnya.

Viona menyeka air matanya. "Vin, uangnya?!" tanyanya agak berteriak, namun Melvin tidak merespon lantas keluar begitu saja.

"Sial!"

***

"Berantem lagi sama Viona ya?"

Melvin memilih tidak menjawab pertanyaan Ziel dan melanjutkan makan siangnya.

"Vin, menurut gue, lo jangan terlalu membahas itu sama Viona. Cewek itu sensitif soal begituan, kata Alfia gitu soalnya. Kalo udah nikah, terus ditanya masalah hamil, cewek bakalan tersinggung."

Melvin menghela napas, meletakkan sendok dengan sedikit membanting. "Yel, 3 tahun menurut lo waktu yang singkat? Apa menurut lo, anak dalam pernikahan itu gak penting? Umur pernikahan lo aja baru 3 bulan, lo nggak paham arti dari hal yang selalu gue ributkan dengan Viona."

Ziel diam, kehabisan kata-kata membalas ucapan Melvin. Ia tahu jika Melvin sangat ingin memiliki anak. Pria itu sudah 3 tahun menikah dengan Viona, adik kelas mereka saat SMA.

Ziel menebak, mungkin saat ini Melvin sedang menyesal.

"Udah, gak usah marah-marah gitu. Nanti sore gimana kalo kita hangout? Minum-minum bentar, mumpung bini gue lagi di rumah nyokapnya."

Melvin mengangguk tanpa ragu.

Pukul 5 sore, Melvin dan Ziel pergi ke beach club langganan mereka. Di sana, sudah ada Daffa yang menunggu.

"Hadeuh, paksu-paksu ini mukanya kelihatan banget tertekan," ujar Daffa meledek.

"Dia aja, gue nggak," sahut Ziel lalu tertawa.

"Bangke," umpat Melvin.

Daffa tertawa. "Nih, gue udah pesenin minuman buat kalian. Tenang, malem ini gue traktir. Kalo kalian mau cewek pun, gue yang bayar," ujar Daffa.

"Habis dapet cewek dari negara mana lagi lo?" tanya ZIel, tahu jika Daffa sedang baik seperti ini pasti suasana hatinya sedang baik—soal perempuan.

"Ada lah! Tar gue kenalin, dia belum dateng."

Ziel hanya bisa menggeleng melihat kelakukan Daffa.

"Vin, mau cewek gak?" goda Daffa.

"Gak."

Second FloorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang