Pemuda Hujan 10

306 5 0
                                    

Sudah seminggu ini rumah sepi tiap malam, mas Jampes dan Agil sudah merantau di Jogja. Dirumah kami kembali berdua, padahal aku ngerasa baru punya teman satu frekuensi. "Mas, jalan-jalan yok". 

Kekasihku sedari tadi pagi liat hp terus, bikin jengkel. Tumben-tumbenan ia begitu fokus, padahal biasanya tidak. Mata tajamnya kini menatapku dengan ekspresi seperti orang bloon. "Mandi dulu sana, badanmu asem dari tadi". 

Aku mencium kedua ketiakku, padahal masih wangi. Bisa-bisanya aku dibilang bau badan. "Dek, kamu stres apa gimana". Mas Jitoku tersayang menunjukan ekspresi sangat lucu ketika ketiakku menempel pada hidungnya.

"Salah sendiri mas Jito ngatain aku bau". Aku tidak mempedulikan ia mengoceh dan duduk di hadapannya. Antara sebel tapi ekspresinya lucu.

Walau aku sudah mengapit mukanya di ketiakku, orang ini tetap saja fokus dengan hp. Aku tambah jengkel jadinya. "Mas mbok jangan mainan hp terus, aku lho kesepian gak ada mas pes sama Agil". Berhasil, kejujuranku membuat ia meletakan ponselnya.

"Jadi Jarod ku sayangku kesepian". Ia mencium perutku membabi buta, hingga membuatku beberapa kali harus menahan geli. 

"Ayolah mas, beli roti bakar atau kemana gitu". Aku mengelus kepalanya pelan saat berbicara sedangkan mas Jito malah menjilati kedua putingku. Kalau diteruskan bakal minta jatah. 

"Mas Jito kan udah bilang, mandi dulu habis itu kita keluar sayangku". Entah kenapa kali ini aku tidak mau beranjak dan tanganku secara otomatis membuka celana. "Emut dulu, baru mau mandi". Mas Jito menggelengkan kepala seolah mengatakan "aneh-aneh aja dek permintaanmu". namun ia segera mengulum kontolku yang sudah menegang gara-gara ulahnya sendiri memberi kenikmatan di susuku.

Lidah mas Jito memang lihai kalo ngemut kontol, berkali-kali aku harus mendesah saat batang keras ini menembus tenggorokannya. "Udah mas, aku mandi" aku tahu ia terpancing birahi, dengan instruksi dadakan seperti ini ia bakalan protes dan menyusul ke kamar mandi.

"Sembarangan, lagi enak-enak malah udahan". Mas Jito bersungut namun aku segera melarikan diri. Benar saja ia ikut masuk ke kamar mandi bersamaku.

"Kalo gak gini, mas Jit gak bakalan mandi walau aku udah selesai". Ia terkekeh. Badan seksi kekasihku kini sudah bugil dengan kontol yang masih tegak berdiri. "Gak ada niatan mau ngemut atau gimana gitu dek". Mukanya memelas namun aku baru ingin jalan-jalan.

"Abis jalan-jalan". Singkat, padat, jelas. Penjelasanku membuatnya memancungkan bibirnya. 

Begitulah kami jika dirumah, aku tidak pernah marah begitu pula mas Jito. Hari-hari selalu diisi dengan candaan, ciuman atau berhubungan badan. Seminggu kadang bisa sampai 4 kali. Lelakiku ganas, berkali-kali aku harus dibuat menyerah oleh kontol panjang lurus itu. 

"Dek, memangnya mau jalan-jalan kemana?". Mas Jito keluar dari kamar mengenakan kaos kutang kedombrongan dan tipis. Sejak kapan ia punya kaos aneh seperti itu. 

"Beli roti bakar, abis itu bersantai di bangku dekat batas kota". Malam ini cukup gerah sehingga kami berdua semi telanjang dada, perpindahan dari musim hujan ke musim kemarau membuat hawa di desa ini begitu lembab dan panas. 

"Tapi pulangnya jangan malam-malam ya". Wangi semerbak dari badan suamiku, heran kenapa mas Jito kalau habis mandi bisa sewangi ini, padahal aku habis mandi biasa aja.

Hal yang membuatku begitu nyaman dengan hubungan ini ketika pulang kerja, mandi setelah itu keluar walau hanya sekedar duduk dipinggir jalan atau beli rokok. Asal dengan mas Jito. Sesederhana itu sudah membuatku bahagia. Mau jalan kaki, mau naik sepeda ataupun mau naik motor aku rela. 

Setelah membeli roti bakar sesuai rasa favorit kita berdua yaitu coklat kacang dan coklat pisang serta minuman ringan es soda gembira, kami memarkir kendaraan di pinggir jalan yang terdapat sebuah bangku klasik. Diseberang terlihat sebuah tugu penghargaan yang pernah diraih pemerintah daerah disini.

Pemuda HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang