Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.” (Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H)
Hakikat ikhlas yang sebenarnya adalah tersembunyi atau tidak ditampakkan, karena segala sesuatu yang ditampakkan berpotensi mengundang pujian yang mengakibatkan mengubah rasa ikhlas menjadi riya’.
Amalan-amalan yang lebih baik disembunyikan tentunya adalah amalan-amalan sunnah. Amalan-amalan wajib tentu saja lebih baik ditampakkan sebagai syiar, seperti misalnya sholat jum’at atau sholat wajib 5 waktu.
Namun jika niatnya untuk sebuah motivasi atau sebagai uswah, tentu saja boleh untuk menampakkan amalan-amalan sunnah seperti misalnya bersedekah.
Tapi jangan lupakan, jika kita punya amalan yang dilihat manusia, kita harus punya lebih banyak amalan yang tersembunyi sebagai stok pahala jika amalan yang ditampakkan itu berpotensi terkikis pahalanya tersebab ujian-ujian keikhlasan.
Tidak hanya amalan baik yang harus disembunyikan, aib dan dosa kita pun harus kita sembunyikan, karena Allah yang telah menutupi aib-aib kita agar kesempatan untuk bertaubat terbuka lebar. Selain itu, jika aib-aib kita dibuka, khawatir akan dicontoh oleh orang yang mengetahuinya, khawatir menjadi dosa jariyah.
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.” (HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah)
Cek Hati untuk Melihat tanda-tanda Ikhlas dalam Beramal
•Apakah saat melakukan kebaikan niatnya hanya karena berharap pahala dari Allah?
• Apakah saat melakukan kebaikan tanpa peduli apa respon orang lain terhadap kebaikan yang dilakukan?
•Apakah respon kita ketika ada orang yang menganggap perbuatan baik kita adalah riya’? Apakah sangat kesal?
• Apakah merasa sangat dongkol ketika perbuatan baik kita ternyata sia-sia atau diabaikan?
• Apakah kita langsung kapok melakukan kebaikan itu ketika ternyata kebaikan kita tidak berbalas sekalipun hanya ucapan terima kasih?
• Apakah pujian menjadi penyemangat utama ketika melakukan kebaikan?
• Apakah lebih banyak amalan-amalan kebaikan yang kita kerjakan itu ditampakkan daripada yang disembunyikan?
• Apakah ketika ada yang meniru perbuatan baik kita dan mendapat sanjungan, kita merasa tidak suka karena merasa tersaingi?
• Apakah ketika kita berbuat baik, kita lantas merasa lebih baik dari orang lain?
• Apakah perbuatan baik kita menyebabkan kita merasa lebih baik dari orang lain dengan membicarakan aib orang lain (ghibah) yang menyebabkan jatuhnya harga diri orang lain?
• Apakah kita benci dinasehati orang lain karena merasa diri kita sudah baik dan tidak pantas untuk dinasehati?Jika sebagian besar jawabannya adalah ya, berarti ada yang salah dari hati kita. Hati kita harus segera kita perbaiki sebelum terlambat. Sebelum penyakit hati yang bercokol di dalam diri akan mengakar dan menjalar dalam diri kita yang menjadikan diri kita akan selalu merugi ketika beramal, karena hangusnya pahala amalan-amalan yang susah payah kita kumpulkan. Amalan yang sudah kita anggap akan mendapat banyak pahala dan berkah dalam kehidupan kita, jangan sampai sia-sia hanya karena tidak adanya keikhlasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabar Syukur Ikhlas
Non-FictionSabar tanpa takar Syukur yang tak terukur Ikhlas tak harap balas