Tanda Hati Ikhlas (bag.2)

22 0 0
                                    

Hati adalah raja bagi diri kita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hati adalah raja bagi diri kita. Semuanya berawal dari hati. Jika hatinya baik, maka baiklah segala sikap, lisan, dan perilaku kita. Jika hatinya kotor, maka rusaklah segala sikap, lisan dan perilaku kita.

Jika ada yang bilang bahwa ada orang yang berpenampilan religius tapi hatinya buruk, suka mengumpat maupun suka menjatuhkan harga diri orang lain, tentu saja juga bukan untuk bandingan dari seorang yang berpenampilan maksiat namun katanya hatinya baik. Bukan sebagai pembenaran akan perilaku maksiat dengan dalil yang penting hatinya baik.

Urusan keshalihan orang bukan tugas kita untuk menilainya. Kita tidak pernah tahu apa yang dia lakukan di saat sendirian atau di saat sepi dari keramaian, karena di posisi itulah jati diri sesungguhnya dari seseorang. Kita hanya meneladani kebaikan dan ketaatan yang tampak serta mendoakan hidayah pada perilaku maksiat yang tampak juga tanpa perlu banyak berkomentar atau beropini yang masih sebuah sangkaan saja.

Akan jauh lebih baik untuk kita fokus bermuhasabah akan nilai diri kita di hadapan Allah. Mengintrospeksi diri dan terus memperbaiki diri.

Dalam islam, indikator ketaatan itu luar dalam, baik di penampilan seperti menutup aurat karena sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah, baik juga di sikap dalam kesendirian maupun saat ramai orang sebagai bentuk ketaatan juga terhadap perintah Allah.

Memang tidak ada orang yang sempurna dalam hidup ini. Menyadari hal itu, harusnya kita tidak menjadikan manusia sebagai tolak ukur perbuatan kita.

Allah sudah mengutus Nabi Muhammad sebagai role model kita, itu sudah lebih dari cukup sebagai teladan kita. Karena jika kita menjadikan orang lain sebagai patokan teladan, pastilah ada saja kekurangannya yang harusnya tidak kita contoh karena manusia tempatnya salah dan dosa.

Sementara Rasulullah itu adalah seorang nabi yang setiap tindak tanduknya mengandung hikmah yang bisa dijadikan teladan.

Tidak salah untuk menjadikan orang lain sebagai teladan, tapi bukan dijadikan sebagai patokan atau tolak ukur apalagi jika tolak ukurnya dalam hal agama hingga membenarkan sikap salah seseorang yang sebenarnya bertentangan dengan nilai syariat. Mengidolakan manusia sewajarnya saja, jangan sampai menjadikan kita lantas menomorduakan Rasulullah sebagai teladan utama dalam kehidupan kita sebagai seorang muslim.

Kiat ikhlas dalam beramal tentu saja niatnya karena Allah, amalan yang kita lakukan adalah amalan yang tidak menyelisihi syariat, amalan baik yang disembunyikan usahakan jumlahnya lebih banyak daripada yang ditampakkan, terakhir jangan jadikan pujian sebagai tolak ukur sebab keberhasilan amal kita.

Jika suatu hari kebaikan yang kita lakukan ternyata mendapat cibiran dari manusia, semisal kita bersedekah nasi tapi ternyata katanya lauknya tidak enak karena tidak sesuai dengan selera yang menerimanya padahal kita sudah memberikan lauk terbaik yang enak dan masih bagus, itu bukan berarti amal kebaikan yang kita lakukan gagal.

Jika kita ikhlas melakukannya, kita akan tetap mendapatkan pahala amal kebaikan dari Allah. Cibiran itu bisa saja sebagai ujian dari Allah untuk membuktikan apakah amalan yang kita lakukan itu ikhlas semata karena Allah ataukah hanya ingin pujian semata.

Cek Hati untuk Melihat Tanda Ikhlas Menerima ketetapan-Nya :

• Apakah masih merasa sakit hati yang kuat ketika mengingat sebuah kejadian buruk yang menimpa?
• Apakah masih ada rasa ingin memutar kembali waktu agar bisa mengubah skenario takdir?
• Apakah masih belum menemukan hikmah kebaikan di balik musibah atau hal yang tidak sesuai harapan yang terjadi?
• Apakah masih sering mengulang-ulang cerita buruk itu dengan diikuti rasa sedih, kecewa atau sakit hati?
• Apakah masih mencari-cari kambing hitam, sesuatu atau orang yang disalahkan dalam menyebabkan kejadian buruk itu menimpa?
• Apakah masih belum yakin bahwa takdir Allah adalah yang terbaik?
• Apakah belum bisa memberi maaf atas kesalahan orang lain?
• Apakah sering membandingkan kehidupan diri dengan orang lain dan menganggap hidup ini tak adil?

Jika lebih banyak memberi jawaban ya, tentu saja itu tandanya hati kita belum sepenuhnya ikhlas menerima ketetapan Allah. Kita masih terlalu larut dalam kesedihan dan ambisi dunia yang mengakibatkan rasa syukur kita tenggelam dan yang mendominasi adalah kekufuran atau rasa tidak bersyukur akan nikmat-nikmat kehidupan yang Allah berikan.

Agar ikhlas menerima segala ketetapan dari Allah, yaitu dengan berusaha mencari hikmah sebanyak-banyaknya di balik musibah yang menimpa, karena segala sesuatu yang ditakdirkan Allah pasti mengandung hikmah yang bisa kita petik agar kita bisa introspeksi dan menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya.

Memaafkan adalah cara untuk ikhlas paling ampuh. Memaafkan memang tidak semudah yang diucapkan, tapi setidaknya ada kemauan untuk mengupayakan memberi maaf atas kesalahan yang terjadi. Maafkanlah diri kita, maafkanlah orang lain atas kekhilafan yang terjadi dan kemudian bangkitlah.

Memberi maaf pada orang yang pernah memberi luka tentu butuh latihan dan jam terbang yang tidak sebentar. Tapi hanya dengan cara itu kita mampu move on dan berkembang lebih baik lagi daripada berkubang di lubang dendam yang terus menjegal masa depan kita karena bayang-bayang tak mengenakan yang terus kita putar dalam memori.

Harusnya kita fokus mengambil pelajaran dari sebuah luka, untuk kemudian mengambil kuda-kuda untuk siap berlari menyongsong lembar baru yang harus lebih baik dari kemarin.

Semakin luas ruang hati kita, semakin lebih mudah kita bertumbuh dan berkembang lebih baik dari diri kita yang dulu.

Tentu saja itu butuh waktu dan butuh usaha untuk melakukannya. Ya, semakin besar usaha yang kita lakukan tentu akan semakin besar nilainya di hadapan Allah bukan? Allah pasti tidak begitu saja mengabaikan perjuangan hamba-Nya memberi maaf pada orang lain. Allah pasti akan berikan balasan yang lebih baik pada jiwa yang pemaaf.

Tidak perlu pedulikan apakah orang yang menyakiti kita akan mendapat balasan buruk ataukah belum. Itu bukan lagi menjadi urusan kita. Urusan kita hanyalah bagaimana hidup kita akan menjadi lebih bahagia dan lebih tenang. Kebahagiaan diri kita adalah tanggung jawab kita sendiri.

Kalau perlu doakan hidayah bisa menyapanya agar tak ada lagi korban lain berjatuhan. Atau paling tidak agar dia sadar akan sikapnya yang menoreh luka.

Mendoakan keburukan dan menyaksikan keburukan terjadi pada orang yang menyakiti kita hanyalah sebuah kepuasan sementara. Karena, kejadian buruk yang menimpa seseorang belum tentu menyadarkan dirinya. Sementara jika sudah datang hidayah, apa pun kondisinya, baik sedang dalam zona nyaman atau pun sedang tertekan, maka akan menjadikan seseorang sadar akan dosa dan kesalahannya.

Lalu, soal kehilangan. Tentu berat rasanya kehilangan sesuatu yang terlanjur kita cintai. Namun percayalah, Allah tidak mungkin begitu saja mencabut kepemilikan kita terhadap sesuatu tanpa sebab, hanya saja kita tidak tahu pasti apa alasannya. Tapi kita bisa mereka-reka hikmahnya menurut pemahaman kita. Berprasangka baik pada takdir Allah, adalah jalan terbaik agar hati kita bisa ikhlas.

Sabar Syukur IkhlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang