Kirana Maheswari

477 74 0
                                    

Selepas kejadian pagi hari bersama Ibunda itu, hubungan El dan ibunya menjadi kikuk. Mereka bahkan ditaraf saling mendiamkan. Ah, lebih tepatnya ketika El bertanya sesuatu, ibunda cuma menjawab alakadarnya.

Sebagai Elysha, ia tahu bila wanita paruh baya ini sedang merajuk. Tapi menjadi lelaki, ia bisa bersikap bodoh amat dan tak begitu memikirkan apa yang terjadi. Bahkan dalam benaknya, dia yakin bila ketika ia pulang membawa kabar sudah diterima kerja ... hubungan mereka akan membaik secara alamiah.

Heh. Menjadi lelaki memang lebih simple sepertinya.

Setiap hari dihabiskan El keliling memasukkan lamaran pekerjaan dan nongkrong di warnet Eko. Dia bahkan sudah mendaftarkan diri bekerja sambilan di warnet itu, dengan catatan tidak mau shift malam. Eko menggodai dia dengan, "aish, dapet duit gede kok nggak mau to El. Kenapa se? Harga diri? Sing nentokno regane wong kan uduk bokongmu melar tah ora. Saiki ki jaman edan, sing didelok wong ki saiki ngenean ... (Yang menentukan harga diri bukan pantatmu melar apa enggaknya. Sekarang itu era gila, orang ngelihat kamu dari beginian ...)," sambil menggesekkan ibujari di telunjuk, membuat gestur uang.

)," sambil menggesekkan ibujari di telunjuk, membuat gestur uang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

El hanya bisa tertawa mendengar hal ini. Ironinya memang begitulah keadaan di lapangan, orang melihat sesuatu dari harta, bukan lagi putihnya jiwa.

Tapi setidaknya putra tunggal bu Siti ini berusaha menjaga keperawanan dan keperjakaannya.

Walau dia yakin ujung-ujungnya akan seggs bebas sih. Pokoknya, untuk sekarang, dia berusaha untuk tidak menjual diri!

“Loh. Mas El?”

El yang asik dengan laptopnya terpaksa mendongak begitu mendengar suara sedikit familiar—tapi dia lupa siapa—memanggil namanya. Sejenak ia memandang lurus wanita ayu berambut coklat lurus di depan sana.

Elysha tahu El mengenali orang ini tapi lupa siapa dia.

Dia sendiri sebagai sang Pencipta dunia ini lupa.

Karenanya El hanya menelengkan kepala, mengerjap sebelum bertanya, “ya? Mau pakai komputer nomor berapa mbak?” pura-pura lupa kalau orang ini tahu namanya, tak peduli juga dia tahu dari mana. El langsung kembali membahas pekerjaan.

Wanita ayu seumurannya itu memandang lekat, wajah putih di sana tampak terkejut. Ia seolah tak menyangka akan komentar El. Namun selang beberapa saat, senyum mengerti mengurva di wajah menik-menik (kecil) itu.

“Yang nggak deket kamar mandi aja mas. Sama tidak terlalu dalam. Ada?” lembut suara itu terlontar. Dia sedikit mencondongkan badan di meja kasir, memperhatikan layar monitor El. Siapa saja tahu bila monitor di hadapannya menunjukkan komputer mana saja yang isi dan tidak.

El bersyukur dalam hati dengan fakta wanita ini tak mengajak berbasa-basi lebih atau memberondonginya dengan deret kalimat klise seperti, 'kamu lupa aku? Aku xxxx (nama) loh! Oh iya kamu sudah kerja? Aku sekarang kerja di sini ... blablabla'.

WTF?! Why am I a boy here?! [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang