Reihan Nielfire Arganta

296 50 8
                                    

Reihan Nielfire Arganta, Rei, menghela napas panjang sembari melihat pantulan dirinya di depan cermin. Dia menyisir rambut sebahunya dengan tangan, melihat warna pirang di sana sambil bercerita pada seseorang yang wajahnya tertampilkan di layar ponsel, lelaki berwajah Asia Timur dengan tulang pipi tinggi dan hidung mancung.

"Jadi menurut lu gimana?" pemilik kelereng biru itu bertanya. Dia melirik sejenak ke arah lelaki di dalam ponsel itu sebelum perhatiannya kembali ke arah kaca. Wajah datarnya tampak bertanya-tanya di pantulan itu. Hell, Rei juga heran sebenarnya. Kenapa dia bertanya ke orang ini untuk masalah ini?!

... tapi pada siapa lagi dia bisa bertanya, kan?

["Lu bicarain sama Awan lah. Gua nggak bisa kasih solusi ke lu gimana pun juga. Gua itu siapa, astaga,"] kata orang itu, suaranya serak dan tampak cengkok kesal dari lantunan nadanya. Bisa dimaklumi. Baru saja Rei mempertanyakan masalah yang harusnya tak melibatkan orang ini.

Memutar mata, pemuda pirang itu meraih ponselnya dan mulai berjalan membelah ruangan. Asal dia menjawab ucapan lelaki berema belah pinggir di sana, "Lu tahu Awan bakal ngikutin apa yang gua mau. Gua cuma nggak ingin salah ambil langkah lagi." Dia kini duduk di depan laptop, membuka piranti yang sedari kemarin hanya di-hibernate itu dan mulai membuka email.

Sesaat, tak ada jawaban dari arah ponsel Rei yang tergeletak di atas meja. Dia juga tak mempermasalahkan, jemari panjangnya fokus menekan keyboard dan mata memandang layar laptop intens. Sementara tangan kirinya meraih segelas kopi dan menenggaknya perlahan.

["Lu tahu Awan hanya punya lu sekarang ... dia akan melakukan segala cara biar lu aman."]

Rei mengehntikan gerakannya menenggak kopi begitu mendengar ucapan ini. Dia tercenung beberapa detik sebelum kelereng biru bergerak, memandang lelaki beralis tebal di dalam layar ponselnya.

Lelaki itu tengah memandangnya lurus. Matanya yang hitam berkilat serius sedang jemari panjang saling tertangkup di depan hidung. Rambut tertata rapi tambahkan kesan wibawa dan betapa ia tak main-main di sini.

Listrik statis mengalir di pungguh pemuda itu. Haha. Rei tiba-tiba merasakan dia kembali bimbingan skripsi.

Oh. Dia lupa. Pacar adeknya ini memang seorang dosen.

... seperti orang itu.

Ck. Rei berdecak. Kenapa apa pun yang melintas di benaknya akan kembali ke orang bajingan itu?!

"Awan punya lu," Rei berkomentar sambil memutar mata; berusaha tampak mencemooh pernyataan manusia di seberang dan juga menepiskan pikirannya pada bayang si Bajingan. Gelengan kepala pelan ia buat seiring tangan meletakkan cangkirnya ke atas meja.

["Gua nggak di Indo tapi bukan itu poinnya, bocah,"] melengos, bapak Dosen universitas ternama di luar negeri itu mengingatkan. Rei mencibir mendengar pernyataan itu. Kalau dia dipanggil bocah, Awan apa dong? Lupa apa ini om-om age gap dia ke adiknya hampir sepuluh tahun?

Kesal, lelaki di dalam sana melepaskan jalinan tangannya dan mencondongkan badan. Mukanya kini full di layar ponsel Rei. ["Gua tekankan di sini, Awan bakal lakuin apa saja biar lu nggak terbebani. Termasuk mengorbankan perusahaan keluarga lu."]

Mendengar ini, Rei menghela napas. "Dan menyerahkan mereka ke antek-antek Ra? Gils. Nggak mau gua!" katanya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kepala menengadah, kelereng biru memandang ke arah langit-langit tajam. Ekspresi di wajah kokoh itu bercampur aduk menjadi satu. Ada amarah, kesal, tapi juga sekilas ... tampak kegalauan pekat yang dibebat ketakutan.

["Gua tanya ke lu, Rei. Mau lu gimana?"]

Rei diam. Dia mendengarkan apa yang diucapkan lelaki lebih tua itu, tapi dia sendiri belum bisa menjawab. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana.

["Lu yang udah lulus kuliah. Usia lu dah seperempat abad lebih."]

"Sudah seperempat abad lebih ya ..." si pirang menginterupsi.

["Whatever. Poinnya ... Awan masih dua puluh tahun. See? Lu mau nyuruh anak kecil apa lagi?! Harusnya dia kuliah bukan ngurusin perusahaan keluarga!"] nada pria lawan bicara Rei meninggi. Rei hanya bisa menggigit bibir mendengar ini.

Dia tahu, anjir! Dia tahu kalau semua ini harusnya ada di bahunya, bukan di adiknya! Kekacauan yang dibuat orang itu, harusnya dia yang menyelesaikannya ... bukan adiknya. Dia tahu. DIA TAHU!

Tapi ...

Tapi ... barang rusak memangnya bisa apa?

Menghela napas panjang, Rei menyibakkan remanya ke belakang. Dia yang tadi sempat menata penampilannya biar rapi, kini tanpa sadar memberantakannya kembali.

["Kalau lu mau berubah ... berangkat sekarang ke kota M. Handle kerjaan yang harusnya lu kerjakan. Cukup lu lari dari kenyataan setengah tahun ini. Healang-healing itu cuma alibi lu aja yang nggak mau berusaha move on. Lu bukan bocah lagi, Tuan Muda Arganta. Kalau bukan lu yang berusaha merubah diri lu sendiri, terus siapa?!"]

Dan kata-kata lelaki itu merasuk ke telinga Rei, mengendap dalam.

Haha. Rei tertawa dalam hati. Senyum pedih merekah di bibir.

Satu pemikiran lama kembali melayang ke benaknya: barang rusak sepertinya memangnya bisa apa?

***

[Amare1231: Nast. Lu sibuk? Masih rekam yang begono begini?]

Sudah beberapa hari berlalu setelah El menginjak kota S. Beberapa hari juga setelah dia mengirimkan pesan yang menyatakan dia tak marah pada Mar-mar dan menginginkan hubungan mereka tak tergesa--yang berujung mereka baikan. Heh, salah. Berujung dia dan Mar-mar kembali berkomunikasi.

Hari ini masih pukul 10:00 pagi dan El baru saja kelar mandi ketika ia membaca pesan dari penulis BL beken itu. Dua alisnya naik ke atas. Dia tadi malam memberi kabar ke lelaki itu memang kalau akan bekerja sampai pagi, tapi tak menjelaskan kerjanya merekam atau mengedit video. Kenapa orang ini tahu jika pekerjaan semalamnya merekam adegan anu?

Sambil menggerakkan handuk di atas kepalanya, El membalas pesan itu, [Nastar Koneng: Nggak kok. Dah kelar. Ini habis mandi.]

El menimbang sejenak harus apa tidak dia tambahkan pertanyaan seperti 'kenapa? Ada yang bisa aku bantu?' di bawah pesannya. Awalnya dia enggan, tapi berujung ia ketikkan kalimat itu karena melihat Mar-mar membaca pesannya tapi tak ada tanda-tanda ia sedang mengetikkan balasan.

Sayang, tak seperti harapan si pemilik rema abu itu, Mar-mar masih diam.

Mmm ... ya sudah lah.

Berusaha mengabaikan rasa kecewa yang bercongkol, El menghempaskan diri ke atas kasur. Sejenak ia mengambil ponselnya, menyalakan layar dan mengecek notifikasi. Masih nihil.

Aish.

Namun sejurus kemudian, ponselnya berdering dan nama Mar-mar tertampil. Lebih, ini bukan panggilan biasa, melainkan video call!

Kaget nggak? Kaget dong. Saking terkejutnya, El sampai tak sengaja melepaskan pegangannya ke hp dan plok! tanpa babibu hpnya jatuh menimpa muka.

Cok! Loro cok! (Awww. Sakit!)

Namun lucunya, gara-gara hidungnya tak sengaja menekan tombol jawab, telepon langsung tersambung.

Seketika El mendengar suara berat nan seksi yang sudah lama tak ia dengar menyapa, ["halo, Nast? Gimana kabarmu?"]

Dan entah mengapa jantung El berdebar hebat mendengarnya.

[]

WTF?! Why am I a boy here?! [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang