Boundaries?

182 34 9
                                    

"Lu nggak takut sama gua?" pertanyaan itu meluncur dari bibir tipis lelaki pirang yang kini tengah bersandar di sofa kamar Awan. Lelaki itu menatapnya dengan pandangan sayu di balik kompres air basah yang kini bertengger di kening. El sendiri saat ini duduk manis di sofa kecil yang berada di bagian kaki tempat kekasihnya berbaring. Ia sedang minum es teh ketika pertanyaan itu meluncur dan tersedak, terimakasih.

"Apa yang perlu ditakutin?" jawab El setelah batuknya mereda. Ketika dia mendongak, menatap si pirang, lelakinya ternyata sudah duduk dan kini tengah menatapnya penuh kekhawatiran.

Uh? Sweet?

"Lu tau gua--urgh, ng-nggak begitu ... waras?" Rei mengetukkan telunjuk kanan ke kening, ia melanjutkan, "ada yang salah sama otak gua dan yang ... mmm, tadi itu, kemungkinan terjadi lagi sembilan puluh sembilan persen!" jeda terjadi sejenak. Rei mengamati perubahan mimik muka pacarnya di sana. Mana mungkin ada orang sehat yang mau dengan manusia umm--cacat mental, kan ya? Dia ingin memberi tahu El kalau dirinya itu perlu ditakuti. Sangat perlu ditakuti! Orang dia tak sehat! Dia gila!

Tapi diluar dugaannya, El memandangnya dengan muka-muka: lu ngomong apa sih, gua nggak paham! dan itu membuatnya menganga. Cepat, dia menekankan sekali lagi, "gua serius, El," sambil memperbaiki posisi. Dia kini memandang tajam sosok berstatus pacarnya itu.

"G-gua emang ngajak lu ke kota M, gua awalnya mengira ... gua udah ... ah, sembuh," senyum kecil sesak melengkung di wajah kokoh lelaki blasteran Amerika itu, kata terakhir ia ucapkan lirih. Ada ketak yakinan di sana. "Tapi kenyataannya kan ..." bibir tipis digigit, mimik si pirang tampak begitu cemas. Ia tak tahu harus mengatakan apa.

El hanya menaikkan alis di sini, memandang lurus tanpa menginterupsi. Namun di wajahnya, jelas tunjukkan dia tak percaya bila Rei berpikir jauh begitu. Dia bisa membayangkan kata-kata tak terucap lelaki itu, di balik wajah yang tampak tenang meski dia baru saja terkena serangan panik.

"Aku nggak ada niatan ninggal kamu. Dengan atau tanpa kewarasanmu," aku El selepas helaan napas panjang ia buang. Awal dia pacaran dengan lelaki ini, tentu hanya main-main. Tapi setelah tahu siapa sebenarnya pria yang dia kencani, tentu El tak akan bersikap bodo amat. Dia akan bertanggung jawab.

Memandang lekat sosok di depan itu, seulas senyum merekah di bibir El. Dia berdiri dari posisinya, mengambil sebungkus kacang yang tergeletak di atas meja saat berjalan, lalu berhenti tepat di depan si pirang. "Boleh duduk di situ?" ia menunjuk celah kosong di sisi paha Rei. Space yang bisa dijejali pantat El. "Kita bisa membicarakan boundaries di sini. Yah, aku bukan Awan dan aku, nggak pengen jadi alesan kamu sakit."

Rei mengernyit. "Sakit ap--"

"Aku sakit kalau kamu sakit btw," memotong ucapan pacarnya, lelaki berema hitam itu menghempaskan pantat di celah yang ia inginkan sembari menyentil dahi si pirang. Belum diizinkan oleh Rei, tapi ya sudah. Bodoh amat. Kadang izin tak bisa menghalangi hati untuk tunjukkan afeksi. "Dan sekali lagi, aku nggak pengen jadi penyebab kamu sakit," lanjut El seraya menyunggingkan senyum tipis. "Tapi aku nggak bakal biarin kamu menghadapi semua sendirian." Ia memandang Rei hangat, jemari menyentuh ujung jari-jari si pirang. Radiasikan kehangatan, perhatian yang ia miliki. 

Di sini Rei tertegun. Apalagi begitu ia memandang kelereng gelap lelaki di depannya itu. Tak ada bualan dicara El menatapnya. Manik itu tunjukkan ketulusan betapa dia memang tak ingin dia terkena serangan panik lagi. Jujur ... jujur itu membuat Rei terhenyak. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Di saat bersamaan, ia pun merasakan dadanya ... hangat.

Dua sejoli itu terdiam, mereka saling pandang. Di kamar hotel Awan kebetulan tinggal mereka berdua, Awan tengah turun untuk mencari minyak kapak. Katanya kalau Rei habis terkena serangan panik, Awan selalu menghangatkan dia pakai minyak-minyakan. Tadi sudah diblonyohi--duh apa pula bahasa Indonesia diblonyohi?--tapi belum sampai kaki, minyak sudah habis. Jadilah Awan turun ke minimarket hotel. Dan yep. Itu membuat mereka kembali berdua, hanya pindah kamar saja.

Dan karena cuma berdua ini ... Rei merasakan hatinya ... berdebar?

"Kita baru saja kenal ..." Putra Arganta itu memalingkan muka. Ia memandang hal lain, kecuali El.

"Bukan alasan buat aku nggak perhatiin pacarku, kan?"

Dahi Rei tertaut. Dia langsung menolehkan muka, memandang El dengan tatapan tak percaya. Bibir terbuka kemudian, seruan lepas, "Kita belum saling cinta!" 

"Nggak butuh cinta buat saling membantu, tau?" El memutar matanya. 

"Tapi kenapa?! Apa yang mau lu raih dengan lu mau capek-capek nemenin gua?!"

Atas ucapan itu, El berdecak. Ia meninju bahu Rei, tak pelan tapi juga tidak keras. Ia berdesis, menggunakan lu gua ibu kota dan membalas dengan nada dingin, "Pengen lihat lu sehat. Waras," ia menekankan kata terakhir. "Lu nggak bisa nerima ada orang kagak pamrih apa gimana sih?" lanjutnya lalu mendengus dan memalingkan muka.

Ekspresi terluka terlukis jelas di mimik Rei. Ada kilat tak terima di matanya, di wajahnya; hal yang membuat Rei langsung menjulurkan tangan, meraih bawah rahang El dan membawa wajah kecil itu untuk menoleh ke arahnya lagi.

"Apa?" El mendesis, giginya bergemeletak. 

Rei diam. Dia masih bungkam. Tapi kelereng biru itu, lekat memandang perubahan demi perubahan di wajah El. Mulai dari dia yang jelas benar-benar peduli, lalu berubah sakit hati, kini kesal tak bertepi.

Beberapa saat, lelaki pirang itu terpaku. Dia masih memandang cowok pendek--dia lebih tinggi, maaf--di depannya ini. Jantungnya berdebar. Oh fvck. Wth he is so fvcking cute?! Dan karena tak mampu menahan dirinya, Rei menarik kuat pipi yang menempel di telapak tangannya. Kuat.

"Awwwww!" oh, tentu saja El langsung menepis tangannya. Alis hitam yang oh sangat Indonesia sekali--tak seperti dirinya yang tercampur, ternoda--tertaut, jadi satu. Secepat kilat, lelaki itu pun menggeser pantat, menjaga jarak dengan Rei. Bak kucing yang ekornya terinjak, dia menjadi galak. "Opo se? Edan piye kowe ki? (Apa sih? Gila apa kamu ini?)" lelaki itu bersungut, entah dengan bahasa apa, Rei tak paham. Yang jelas matanya berang.

Namun si kakak Awan ini hanya terkekeh sebelum sekali lagi, meraup pipi El, menariknya ke samping.

Kali ini El berusaha menepis. Namun cepat, sebelum tangan El memukul lengan Rei, lelaki pirang itu melepas pipi El dan beralih menangkap pergelangan tangan lelaki itu.

Dalam hitungan detik, keheningan membebat.

Dua kelereng bersua.

Mereka berdansa dalam diam, membeberkan rasa hati pada lelaki di depan sana.

Lalu pelan, jemari di pergelangan tangan El berpindah. 

Masih di udara, jari-jari panjang itu menyentuh milik El, pelan, mereka menautkan dirinya pada celah-celah yang ada. Rei melihat proses ini. Dia lekat mengamati bagaimana jemarinya yang lebih besar, memagut milik El.

Senyum merekah di bibir tipis itu kemudian.

"Gua rasa ... Kalau cuma begini, nggak masalah," kata Rei lirih. Ia mengalihkan perhatian berikutnya. Pandangannya kembali pada dua kelereng hitam El. "Asal bukan berhubungan dengan sex, kayaknya gua nggak masalah."

Sedetik, dua, lima, mereka bertukar pandang. El tertawa setelah mencerna maksud ucapan Rei tadi. Ia melepaskan jemarinya dan bergerak ke pinggang Rei. Ia cubit kuat daging di sana sembari menggerutu keras, "Aku duduk tipe lanang sangean yo cok (aku bukan tipe lelaki sangean ya)!"

"Hahaha. Lha tadi?" Meski El menggunakan bahasa Jawa, entah bagaimana Rei bisa membayangkan El bicara tentang apa. Sambil tertawa, jawaban tersebut ia lempar.

"Salahmu!"

"Kok gua?!"

"Dadi wong jok ngganteng-ganteng mulane ... (jadi orang makanya jangan terlalu tampan)," menggelembungkan pipi, El bersendekap. Ia memalingkan muka.

Dan berikutnya, sambil tertawa, mereka bertukar cek cok bahagia.

[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WTF?! Why am I a boy here?! [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang