27 - Kebenarannya

204 38 32
                                    

Arfel dan Blu menatap satu sama lain saat melihat seseorang di dalam toko itu. Itu adalah Rayen! Putra kedua dari pemimpin kerajaan cahaya. Entah apa yang membawanya sampai kesini. Yang terpenting, ini merupakan hal baik untuk Arfel dan juga Blu.

"Blu, kita bisa meminta tolong padanya kan?" Usul Arfel disetujui oleh anggukan Blu.

"Tunggu disini." Blu kemudian melompat dari atas bahu Arfel ke tanah.

Ia menyelinap masuk ke dalam toko yang hanya berisikan Rayen dan seorang pria itu. Berjalan perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian sekitar.

"Yang ini bagus, saya ambil yang ini," ucap Rayen sambil mengangkat sebuah barang di tangannya.

Penjaga toko itu kemudian mengangguk-angguk senang. Ia mengambil barang yang dipesan oleh Rayen dan pergi ke kasir.

"Ini kesempatan," batin Blu. Ia dengan cepat mengambil langkah untuk menarik perhatian Rayen yang baru saja akan berjalan ke kasir.

Beruntungnya saat itu Rayen langsung menyadari kehadiran Blu yang berada di bawahnya. Ia mengernyitkan keningnya. "Blu?"

"Maaf tuan?" Tiba tiba penjaga toko sudah berada di sampingnya dengan benda itu yang sudah terbungkus rapi.

Lantas Rayen segera membayar barang itu. Ia memberikan kantong kulit yang penuh berisikan vòrsl. Ia kembali melihat ke bawah, mencari cari foxies biru tadi.

Keempat mata saling bertemu kembali. Tak menyiakan momen itu, Blu segera berbicara pada Rayen. "Temui aku di toilet."

Setelah yakin Rayen mendengarnya, cepat-cepat ia berlari keluar dari toko. Rayen hanya terdiam, masih mencoba mencerna apa yang terjadi.

"Tuan, ini sisanya," ucap penjaga toko memecah lamunan Rayen.

Rayen tersenyum kikuk lalu menerima kantong kulit itu.

  ***

"Kamu yakin dia mendengarnya?" Tanya Arfel.

Sekarang Arfel dan Blu sedang berada di toilet umum. Arfel terlihat gelisah, takut Rayen tak mendengar Blu dan justru tak pergi kesini.

"Dia mendengarnya, sudahlah berhenti panik seperti itu."

"Jelas aku panik! Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan Aza disana!" Ucapnya sedikit membentak.

"Iya.."

Tiba-tiba sebuah sepatu terlihat masuk ke dalam sana, membuat Arfel dan Blu menghentikkan perdebatan kecil mereka.

"Blu?" Panggilnya sambil terus berjalan mendekati.

Arfel meneguk ludahnya. Jika dilihat dari dekat, orang ini benar benar keren. Pantas saja Aza menyukainya.

"Oh, halo."

Rayen menatap aneh keduanya. "Sedang apa kamu disini? Dimana Aza?" Tanyanya.

"Ah itu ceritanya-

"Ah lama sekali. Aza dibawa pergi oleh kereta kerajaan Vredeshzea, aku akan menyelamatkannya kesana, tapi aku butuh bantuanmu," sela Arfel.

Rayen sangat terkejut mendengar penjelasan Arfel. Itu membuat dirinya bingung dan juga khawatir sekaligus. "Lalu?! Dimana dia sekarang?!"

"Kami rasa ada di dalam istana, karena tadi juga istana dijaga dengan ketat seolah memang ada yang disembunyikan," jawab Blu.

"Ya sudah ayo! Apa yang kalian tunggu?!" Sentak Rayen sambil melangkahkan kakinya keluar diikuti oleh Arfel.

"Hey kalian! Tunggu dulu!"

***

Tok tok.

Pintu tinggi itu diketuk, sesaat kemudian terbuka dan menampakkan seorang Nathan Adorje. Ia membawa sebuah nampan emas yang di atasnya terdapat sebuah piring, dan alat makan lain yang berkilauan. Aza yang sedang duduk, berdiri kemudian menatap tajam ke arah pria itu.

"Seram sekali, padahal niatku baik loh." Pria itu meletakkan nampan ditangannya ke atas sebuah meja. Lalu ia menarik sebuah kursi yang tak jauh darinya.

"Dia bilang, kamu mau tahu peristiwa 1969 itu ya?" Nathan duduk di kursinya lalu menatap gadis yang berdiri di depannya.

"Ck, lalu jika iya kenapa?" Tanya Aza sebal.

"Bagaimana jika aku tahu sesuatu? Tentang peristiwa itu, tentang apa yang terjadi pada saat itu, dan tentang—mu?" Ucap Nathan dengan senyuman yang tersirat di wajahnya.

Melihat Aza yang hanya berdiri diam, Nathan yakin gadis itu sangat ingin mengetahui hal itu. Jadi ia mulai bercerita tanpa menunggu Aza lagi.

"Tahun 1969 dikatakan tahun paling buruk bagi kerajaan ini, tapi tidak untukku, tahun itu adalah awal mulanya aku bisa berdiri disini. Haha, lagipula raja yang memimpin saat itu sangat bodoh, terlalu naif, tak jarang mengorbankan dirinya hanya untuk rakyat miskin yang tak bisa memberinya apa-apa. Berbeda saat garis keturunan keluargaku yang memimpin."

Aza terkejut mendengar perkataan Nathan. Pemimpin macam apa yang berpikir seperti itu?

"Oh, maaf.. kenapa aku jadi berbicara seperti itu ya? haha...

Raja dibutakan oleh cinta, dengan bodohnya ia menikahi perempuan biasa seperti itu, keturunan bangsawan saja tidak ada. Hanya membuat garis keturunan berantakan saja. Untung saja rakyat memilih keputusan yang benar untuk.. membunuhnya," jelasnya sambil menahan tawa.

"Kamu tahu? Kakekku yang memimpin rakyat membunuhnya saat itu! Hahaha! Memang raja dan rakyat sama saja, sama sama bodoh. Yah tapi itu menguntungkan bagi keluargaku yang memang ingin merebut tahtanya."

"Kamu.. tak serius kan?" Tanya Aza tiba-tiba.

"Memangnya aku terlihat main-main? Oh, saat itu harusnya nenek dan ibumu juga terbunuh tahu.." ucapnya ringan.

Aza berjalan mendekatinya, ia mencengkram kerah baju Nathan dan menariknya ke atas. "APA MAKSUDNYA?"

Nathan menatap gadis itu dengan seringainya. "Nenekmu itu wanita yang dinikahi oleh raja."

Aza melepaskan cengkramannya membuat Nathan jatuh ke kursinya. Aza melangkah mundur, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia jatuh terduduk di lantai dengan wajahnya yang terpaku.

"Kamu terlihat bingung, ku persingkat saja ya?"

"Raja menikahi nenekmu yang hanya orang biasa, rakyat marah karena menganggap raja merusak kesucian garis pemegang tahta, maka dari itu mereka membunuhnya. Tapi nenekmu kabur sebelum rakyat menangkapnya.."

"Lalu.. karena kakekku yang memimpin rakyat untuk mengeksekusi raja saat itu, ia ditunjuk sebagai raja berikutnya oleh rakyat, oh ya.. dia juga adalah orang berpengaruh saat itu."

Nathan tertawa lalu menghela nafasnya, "untung saat itu istri kedua raja memutuskan untuk bunuh diri bersama kedua anaknya itu.. jadi tidak ada hambatan lagi untuk keluargaku merebut tahta."

Aza tak berkutik. Ia tak percaya, dan tak mengerti, bagaimana bisa orang seperti ini menjadi seorang pemimpin? Menjadi seorang raja dari sebuah kerajaan. Dia bahkan tidak memikirkan orang lain.

"Itu baru tentang peristiwa 1969 saja ya? Kalau tentangmu aku belum bilang kan? Atau kamu sudah menyadarinya sendiri?"

"..."

Nathan berdiri dari duduknya, lalu menghampiri Aza yang sudah terduduk lemas di lantai. Ia memegang dagu gadis itu, dan membuatnya melihat ke arah dirinya.

"Kamu itu adalah keturunan dari garis pemegang tahta yang sebenarnya. Jadi kamu lah yang bisa membuka bunga itu. Kamu yang akan membukanya dan memberikannya padaku, dengan begitu, dunia ini akan patuh padaku."

Nathan menghempas wajah gadis itu, lalu berdiri dan meninggalkannya diam terpaku di lantai dengan tatapan kosongnya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Undisclosed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang