8

1.9K 100 4
                                    


***

Terlihat jelas perubahan wajah Hanif, saat ini wajah pria itu sangat merah menahan emosinya, bagaimana tidak, tadi pagi ia berangkat bareng Farrel pukul setengah tujuh dan dipastikan mereka berdua turun tepat di perkarangan sekolah saat sampai, tapi kenapa sekarang ia melihat Farrel berada di barisan siswa-siswi yang terlambat.

Tanpa memperdulikan siswa yang lainya Hanif menarik kuat tangan Farrel, membawa pria itu menjauh dari barisan, Hanif berhenti tepat di depan gudang sekolah, ia menghempaskan tangan Farrel.

Sementara itu Farrel hanya pasrah, ia tahu ini kesalahannya, ia sudah berjanji akan mengikuti upacara pada Hanif tapi setan jahanam yang selalu menggodanya berhasil membawa pria itu ke warung Paman Didi.

"Lo tau kesalahan Lo apa?"Tanya Hanif dengan tatapan bak elang miliknya, membuat Farrel sedikit canggung.

"Maaf"

Hanif menghela nafasnya meredakan emosinya yang sudah memuncak "apa susahnya sih Lo nurutin perintah gue, Rel. Ini semua juga demi kebaikan Lo, bukan untuk Gue. Gak ada untungnya Lo ngumpul-ngumpul gak jelas di dalam jam sekolah, ingat masa depan Lo, mau Lo di lihat seperti ini terus sama keluarga Lo? Buktiin ke mereka Lo bisa ngelakuin hal yang Lo inginkan tanpa mereka, buktiin Lo bisa sukses dengan jati diri Lo tanpa paksaan mereka, Lo sekarang udah bebas, Rel. Lo bebas ngikutin pilihan Lo, bukan kemauan orang tua Lo, ayo dong Lo buktiin bukan kayak gini, sadar, Rel."Ujar Hanif panjang lebar berharap pria itu akan sadar dan berubah.

"Tau apa Lo tentang keluarga gue" balas Farrel.

Hanif memejamkan matanya, tangan pria itu terkepal kuat, namun ia masih bisa menahan agar tidak kelepasan "buka mata Lo! Gausah buta, balikin diri Lo yang dulu, masa depan yang Lo impikan udah di depan mata tanpa di atur-atur bokap Lo lagi."

Farrel tertawa hambar "Lo cuma orang asing di hidup gue, gausah ikut campur masalah keluarga gue, Lo gak tau" balas Farrel "karena gue numpang di apartemen Lo bukan berarti Lo bisa seenaknya ngatur-ngatur hidup gue"ujar Farrel seraya memutar bola matanya malas lalu pergi dari sana meninggalkan Hanif.

****

Hanif sedari tadi mutar-mutar di jalanan dengan motornya, dari tadi siang Farrel tidak pulang, ia khawatir pria itu akan kenapa-napa, pasalnya Hanif semalam sudah meminta agar Farrel di tolak untuk bekerja di bar pada pemilik bar itu. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari namun Farrel tidak juga ada kabar.

Hanif berdesis, ia menyesal sudah memarahi Farrel tadi siang, mungkin karena itu Farrel tidak pulang, Hanif juga sudah menghubungi nomor Farrel namun nomornya tidak aktif.

"Lo dimana, Rel." Gumam Hanif melirik ke sekeliling namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Farrel di sana.

Tidak mau menyerah Hanif kembali mencari Farrel, ia tidak bisa tenang sampai pria itu ketemu, ini semua juga salahnya yang di balut emosi tadi siang, seharusnya ia paham jika Farrel tidak bisa di nasehati secara kasar.

***

Sementara itu Farrel duduk bersandar di sebuah kursi yang di sediakan di setiap pinggir jalan kota, pria itu menatap langit yang terlihat cerah di taburi bintang-bintang di sana.

Selesai pulang sekolah ia sudah sangat bersemangat hendak menjalankan hari pertamanya untuk bekerja tapi sayang entah mengapa ia tiba-tiba di tolak oleh si pemilik bar.

"Gue mesti gimana sih anjir, masa iya gue malam ini tidur di luar jadi gelandangan"gumam Farrel, entah mengapa hari ini ia benar-benar sial, punya hp tapi mati gara-gara habis baterai, padahal jika hpnya tidak mati ia bisa minta bantuan Rasya atau Yoga untuk menjemputnya.

"Maaf"

Reflek Farrel menoleh ke samping di mana sumber suara itu, ya, di sana sudah berdiri tegap Hanif dengan wajah menunduk penuh bersalah.

Farrel memalingkan wajahnya tidak perduli "kita pulang sekarang" ajak Hanif namun tidak ada pergerakan dari Farrel pria itu diam saja tidak mengacuhkan Hanif.

"Gue benar-benar minta maaf, gue mohon sekarang kita pulang" ajak Hanif menunggu persetujuan dari Farrel.

"Gausah peduliin gue"

"Sekali ini aja, besok terserah Lo mau pergi kemana tapi plis malam ini Lo pulang" kata Hanif memohon agar pria itu mau pulang bersamanya.

Farrel menghela nafasnya "yaudah" balas pria itu, sebenernya ia juga tidak mau jadi gelandangan malam ini namun ia juga tidak mau menuruti Hanif begitu saja pasalnya Farrel masih kesal dengan pria itu.

***

Mereka baru saja sampai di apartemen, Tanpa ada berbicara apapun setelah Farrel memutuskan ikut pulang bersama Hanif ke apartemen.

"Maafin gue" tiba-tiba saja Hanif memeluk Farrel membuat pria itu bergeming di tempat, ia kaget dengan sikap Farrel yang tiba-tiba seperti itu. Padahal tidak seharunya juga ia merasa bersalah toh ia tadi siang melakukan tindakan yang benar menasehati Farrel.

"Gue gak mau Lo pergi, gue minta maaf udah bikin Lo marah sama gue," ujar Hanif menyesali tindakannya tadi siang. Jujur saja ia tidak menyangka Farrel akan marah terhadapnya, ini yang ia takutkan, saat emosinya sudah menguasai dirinya.

"Gue sayang sama Lo, gue gak mau Lo pergi" ujar Hanif lagi terdengar lirih, suara pria itu benar-benar melemah.

"M-maksut Lo"Farrel menjauhkan tubuhnya dari Hanif "Lo suka Gue?"Tanya Farrel membulatkan matanya sempurna, demi apa pria suka padanya. Apa tidak ada lagi perempuan yang bisa bikin dia jatuh cinta di dunia sampai-sampai ia suka pria, hal apa yang Farrel lakukan sehingga pria itu jatuh cinta padanya.

"Lo gila, Han. Ngapain Lo suka gue? Masih banyak wanita di luar sana kenapa harus suka laki-laki" ujar Farrel geleng-geleng kepala tidak percaya dengan pikiran pria itu.

"Cinta buta"

Farrel tertawa mengejek "bukan cinta yang buta tapi mata Lo yang buta" maki Farrel "gausah suka gue, gue masih normal gak kayak Lo" kata Farrel menatap jijik pada Hanif.

Farrel tersenyum remeh "jadi ini maksud baik Lo nolongin gue? Gila aja gue suka cowok, gue masih normal gak gay" sarkas Farrel, tidak mau memperdulikan Hanif Farrel pergi dari sana, ini bukan tempat nya.

Hanif menatap nanar kepergian Farrel dari hadapannya, ia sadar ia salah menaruh hati tapi mau bagaimana pun hati tidak bisa di salahkan, emang takdirnya di sana ia hanya menjalankan dan mengikuti kata hatinya.

Apa ia harus menghapus semua perasaan ini? Tapi ia sudah menahannya begitu lama, apa semuanya harus sirna sekarang? Lima tahun lamanya pria itu memendam perasaan nya tapi kenapa sekarang malah jadi begini, kenapa ia harus mengungkapkan nya sekarang padahal belum waktu yang tepat untuk itu.

"Akhh sial"desis Hanif mengusap kasar kepalanya, pria itu memukul tembok dengan sekuat yang ia bisa, ia tidak peduli rasa sakit di tangannya, tanpa berniat menghentikan tindakan bodohnya itu Hanif masih setia memukuli tembok tidak hanya itu ia juga melemparkan asal benda-benda yang berada di sekelilingnya "kenapa, kenapa gue?!" jerit Hanif menahan sesak di dadanya.

"Gausah konyol" tiba-tiba seseorang muncul di balik pintu apartemen membuat Hanif mengangkat kepalanya melihat asal suara itu.

***
TBC.

ketos vs siswa bandelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang