XVII (END)

1.2K 100 28
                                    

Hinata keluar dari kamar mandi dengan perasaan jauh lebih tenang. Ia hanya membungkus tubuhnya dengan sebuah jubah mandi milik hotel. Gadis itu bahkan tidak membungkus rambut basahnya dan membiarkan mereka meneteskan air membasahi bathrobe yang dikenakannya.

Ia mendekati Madara dengan pelan, pria itu masih tertidur layaknya bayi yang tidak berdosa. Hinata menatapnya tajam, ia bahkan berharap jika tatapan matanya mampu menguliti tubuh pria itu.
Kedua tangannya terangkat untuk mencekik leher Madara, akan sangat mudah membunuh pria itu dalam keadaan tertidur. Namun saat kulit mereka kembali bersentuhan, bayangan-bayangan kebersamaan keduanya kembali berputar di kepala. Hinata mengurungkan niatnya dan menarik kembali kedua tangannya. Alhasil dirinya hanya mampu terduduk di samping tubuh Madara, dan lagi-lagi ia menangis.

Tanpa diduga, isakan tangis milik Hinata mampu membangunkan Madara dari tidur nyenyak nya. Pria itu terkejut dan langsung bangun merengkuh tubuh Hinata.

"Hei, Sayang, Kamu kenapa? Kenapa menangis?" Tanya Madara khawatir. Hinata menggeleng pelan, ia menghapus air matanya dengan cepat lalu menatap sendu pada Madara.
"Tidak Kenapa-kenapa, Dad. Aku hanya sedih gara-gara menonton drama." Jawab Hinata pelan. Gadis itu berusaha untuk menekan rasa marahnya dan mencoba bersikap seperti biasanya.
Madara mengernyitkan dahinya, ia menatap penuh selidik pada sang gadis.

"Drama tersebut menceritakan seorang gadis yang mencari pembunuh ayahnya, gadis itu ingin balas dendam. Dia dibantu oleh seorang bandar narkoba yang tidak lain adalah teman ayahnya, namun gadis itu tidak tahu jika pria yang membantunya itu adalah pembunuh sang ayah sendiri." Hinata berujar sambil menatap Madara, ia menatap tepat pada bola mata hitam milik sang pria.

"Bayangkan, Dad. Saat gadis itu mengetahui segalanya, ia menjadi kecewa. Tapi untung saja dia berhasil menghabisi orang yang telah membunuh ayahnya." Madara terdiam, ia tidak berusaha untuk membalas perkataan Hinata. Dirinya merasa tersindir secara langsung, apakah jika Hinata tahu kebenarannya, gadis itu akan melakukan hal yang sama seperti gadis dalam drama yang diceritakan Hinata?

Hinata tersenyum tipis, ia memeluk lengan Madara, "Kematian memang pantas bagi seorang pembunuh sekaligus pembohong seperti sosok dalam drama itu, benarkan, Dad?"
Tanya Hinata memancing reaksi Madara.
Dan pria itu hanya mengangguk kaku.

Madara kembali terhanyut dalam lamunannya, pikirannya semakin kalut. Ia takut dengan semua prasangka buruk yang datang melintas di kepala tentang semua bayangan dimana Hinata akan menghabisi nyawanya sendiri.

Hinata, gadis kecil yang ia rawat dengan sepenuh hati. Gadis kecil yang ia cintai setengah mati. Gadis kecil yang ia tipu habis-habisan, apakah nyawanya memang pantas lenyap di tangan Hinata?

Jantungnya kembali berdenyut nyeri, Madara benar-benar benci membayangkannya.

"Dad, Tadi ada yang menelepon mu." Ucap Hinata datar, "Kurasa itu dari anak buahmu." Lanjutnya lagi.
Madara mengangguk tipis, ia melepas tubuh Hinata dalam pelukannya dan segera beranjak dari ranjang untuk mencari ponsep pintarnya.

Di tengah perjalanannya, Madara menangkap ponsel Hinata yang beradi di atas karpet, ia menoleh dan mendapati Hinata yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
"Aku melemparnya tadi, terlalu larut dalam emosi setelah menonton drama." Ujar Hinata menjawab kebingungan Madara. Gadis itu tersenyum tipis, sorot matanya benar-benar tidak Madara sukai. Entah kenapa ia merasa bahwa Hinata nampak berbeda dari sebelumnya.

"Baiklah, Daddy akan menelpon Kakashi dulu. Kamu tunggu disini, ya, Sayang." Hinata kembali tersenyum lalu mengangguk yakin untuk mengiyakan ucapan pria itu.

Madara mengambil Ponselnya lalu berjalan ke luar balkon, ia beberapa kali mencoba menghubungi Kakashi namun tidak satupun panggilannya yang diangkat. Pria itu menggeram kesal, tidak biasanya Kakashi mengabaikan panggilan darinya, membuat Madara khawatir bukan main.

My Little GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang