Sesuatu

149 31 9
                                    

Semenjak kejadian di kantin waktu itu, Gita semakin memantapkan hati untuk move on dari Antares. Ia menyadari bahwa tidak semua peristiwa kebetulan bisa diromantisasi. Betapa bodohnya ia terlalu mengharapkan plot seperti drama Korea yang sering ditontonnya.

Mulai sekarang, stop samain drakor sama kenyataan!

Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Kepalanya mengangguk tegas sebelum melangkahkan kaki dengan berani menuju kelasnya berada.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak takut dengan apa pun.

Termasuk Antares.

"Semangat banget, Kak. Tumben masuk jam segini." Sebuah kalimat menyapa Gita begitu ia sampai di ambang pintu kelas.

"Eh, Miko." Gita mengulas senyum membalas sapaan si pemuda.

Kelas masih sepi, hanya ada Gita dan Miko. Wajar saja, ini masih pukul enam, sedangkan bel masuk masih satu jam lagi. Entah setan apa yang merasuki gadis itu sehingga membuatnya masuk terlalu pagi.

Sedangkan Miko, pemuda itu memang dikenal pintar dan rajin di kelas. Masuk pertama pulang terakhir adalah makanan sehari-harinya. Tak heran jika banyak guru yang menyukainya dan sering memberi nilai tambahan untuknya. Kalau saja ada anak guru yang seumuran dengannya, mungkin guru itu akan meminta Miko menjadi menantunya.

"Ada acara apaan, nih, kok, udah dateng jam segini?" tanya Miko iseng begitu si gadis telah duduk di bangku.

Yang ditanya menoleh dengan senyuman lebar. "Mau jajanin lu. Gas kantin, gak?"

Kedua netra si pemuda terbelalak. "Eh, kenapa, nih? Tiba-tiba banget?"

"Gapapa, pengen aja. Sekalian sebagai permintaan maaf gue karena udah nabrak lu hari itu," balas Gita seadanya.

Hari itu, Gita baru mengetahui fakta bahwa Miko ialah sosok yang tak sengaja ditabraknya setelah membalas pesan masuk dari orang yang sama. Namun, tak ayal juga, gadis itu mengharapkan sebuah pesan masuk dari pemuda berpunggung lebar bernama Antares yang akhir-akhir ini menjadi penghuni tetap di benaknya.

Nggak. Harus move on, Gita.

"Elah, santai aja kali."

Gadis itu berdecak kesal. "Ih, apaan, deh. Gak, harus mau, lu," paksanya.

Sebuah tawa kecil lolos dari bibir si pemuda. "Ya udah, mau jajan apa?"

"Harusnya gue yang nanya itu! Lu mau jajan apa?"

"Basreng aja, deh, samain kayak yang lu beli kemaren."

Gita tampak berpikir sejenak. "Sama bubur instan aja gimana?"

"Boleh."

Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di salah satu bangku panjang di depan salah satu stan kantin. Gita beranjak untuk memesan bubur instan, sedangkan Miko duduk sembari mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin.

Suasana kantin jelas masih sangat sepi. Tidak ada satu pun murid yang berada di sini kecuali mereka. Beberapa dari penjual makanan di sini pun masih sibuk menata stan. Bangku-bangku kantin masih tertata rapi dengan kursi-kursi yang diletakkan di meja.

Terlalu sibuk mengamati kantin, Miko tak sadar Gita telah duduk di hadapannya dengan dua mangkuk bubur beserta es teh di nampan.

"Kok pake es teh, sih?" protes Miko tak enak.

"Ih, gapapa, sekalian."

"Gue ganti, deh, ininya." Miko telah siap merogoh saku sebelum gadis itu tiba-tiba menyela.

"Gue siram es teh ya, lu. Enggak!" ancam si gadis dan langsung dituruti oleh si pemuda.

Pemuda manis itu meringis kecil mendengar ancaman dari si gadis. "Ampun, Kak."

Fisika | JaeminjuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang