Telepon

252 60 2
                                    

Gita mengangkat telepon dari Antares takut-takut. Begitu telepon tersambung, Gita langsung dibuat merinding oleh suara yang menyapa dari seberang sana.

"Halo...?"

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa gugup. Matanya ia pejamkan sejenak dan berdoa dalam hati.

"I–iya...." Ia memperkuat gigitan pada bibir bawahnya.

"Oke, to the point aja, ya. Gue gak suka bertele-tele. Jadi ..., lo beneran ngindarin gue?"

Suaranya memang kalem, tapi entah mengapa kesannya malah membuat Gita semakin takut.

Gita menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya perlahan.

"Dengerin, ya. Jangan ketawa. Jadi gini...."

Ia menjelaskan alasannya dari a sampai z, tanpa dikurangi maupun dilebih-lebihkan.

"Cuma gitu doang, Antares. Sesepele itu. Tapi gatau kenapa, gue masih ngerasa malu. Dulu, tuh, waktu SMP, gue pernah ngalamin hal yang sama. Gue nggak sengaja mencet follow di Instagram temen gue. Waktu itu kita baru deket karena dia baru join ekskul gue. Eh, besoknya malah gue dikatain freak. Gue dijauhin sama dia, soalnya kata dia, gue SKSD dan gatelan. Sejak itu, anak-anak ekskul mandang gue kayak yang dibilang temen gue ini. Yaa walaupun nggak terang-terangan banget, tapi ya kerasa, lah, ya. Makanya, gue sekarang kalo mau follow orang, tuh, nggak asal follow."

Tanpa sadar, ia berbicara panjang lebar. Ditambah lagi, nada bicaranya yang mulai santai—berbanding terbalik dengan nada bicaranya di awal tadi. Vibes mendumelnya benar-benar terasa.

Sedangkan di seberang sana, Antares diam-diam tersenyum sembari mendengarkan cewek di seberang mengoceh panjang lebar dengan santai. Entahlah, ia hanya merasa tembok penghalang di antara mereka menipis perlahan-lahan.

"Antares? Halo? Lo ketiduran?" tanya Gita.

Tanpa ia ketahui, di seberang sana, Antares panik karena terhanyut dalam lamunannya sembari tersenyum dan mendengarkan ocehannya.

"E–eh, enggak. Gue abis minum. Telponnya gue load speaker trus HP-nya gue taroh di meja."

Syukurlah. Setidaknya, ia tau ia tak mengoceh sendirian.

"Gue kira ada alasan khusus lainnya yang bikin lo ngerasa takut trus jauhin gue. Makanya gue gak tenang banget rasanya. Tapi untung aja ternyata gue nggak berbuat salah. Maaf, ya, kesannya kayak gue ngedesak lo banget–"

"Nggak, lo nggak salah, kok. Gue yang terlalu lebay dan kejebak masa lalu." Ia memotong pembicaraan Antares yang sepertinya belum selesai.

"It's okay, perasaan lo valid. Gue gak masalah sama sekali. Makasih udah mau jelasin semuanya ke gue, biar gue nggak salah paham lagi. Ntar, kalo ada waktu, kita jalan-jalan, deh. Gue yang bayar. Enak, tau, sambil keliling kota."

Merinding.

Gita merasa déjà vu.

"Eh? Heheheh, nggak perlu, ah. Jangan berlebihan." Ia tertawa canggung.

"Santai aja. Nanti gue tunjukin warung sate langganan gue."

Makin merinding, lah, si Gita.

Ia tertawa canggung lagi. "Lihat ntar aja, ya. Sekarang udah mau jam dua. Gue takut bangun telat lagi kayak kemaren. Dewi Fortuna nggak bakal bantu gue lagi, soalnya kemaren udah bantuin lewat lo, heheh," balasnya jenaka.

Fisika | JaeminjuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang