Part 8. Dakwah Tak Terduga

16 4 0
                                    

"Ramai, ya, Gus?" ucapku saat melihat aula pesantren penuh dan salawat diputar. Gus Rayhan yang setia mendorong kursi rodaku mengangguk saat aku menoleh ke arahnya.

"Iya, Ning, Ustaz Ravi juga hadir. Beliau sengaja menginap di sini untuk menemuimu," ungkap Gus Rayhan yang mendorongku sampai di mimbar.

Ada rasa gugup berada di depan banyak orang terlebih Ustaz Ravi yang dikagumi banyak orang di hadapanku. Untungnya, Gus Rayhan lebih dulu membuka acara.

"Asalamualaikum, yang saya hormati Ustaz dan Ustazah yang hadir, Umi, dan Abi juga. Dan yang saya cintai para santriku." Sorak sorai langsung terdengar dari santriwati, membuat Gus Rayhan tersenyum simpul.

"Kalau saya menyapa seperti itu banyak yang jawab, ya? Masih semangat para santriku?" tanya Gus Rayhan.

"Masih Gus yang kami cintai!" sorak mereka kompak yang membuat seisi aula tertawa, rasa gugupku pun menghilang mendengar canda tawa mereka.

"Setelah dakwah dari Ustaz Ravi tentang ... tentang apa, ya?" tanya Gus Rayhan.

"Pentingnya Ilmu Dunia dan Akhirat!" sorak para santri.

"Masih ingat ternyata, kalau materi yang saya berikan ingat tidak?"

"Lupa, Gus, ingatnya sama Gusnya saja!" sorak salah satu santriwati yang berhasil membuat semua orang tertawa.

"Ck, bagaimana kamu ini?" Gus Rayhan berkacak pinggang sembari menggeleng. "Kalau Ning Nora yang bawa materi kira-kira ingat sama apanya ini?" tanya Gus Rayhan sembari menatapku.

"Sama senyumnya, Gus!"

"Sama cantiknya!"

"Sama suaranya!"

Sontak aku mengerutkan dahi menatap Gus Rayhan, ada tawa yang ingin pecah.

"Kalau Gus Rayhan kira-kira ingat sama apanya?" tanyaku.

"Kalau saya? Saya pasti ingat sama orangnya satu paket sudah. Dapat senyumnya, cantiknya, suaranya, materinya, kalau boleh hatinya sekalian, Ning." Jawabannya membuatku menutup mulut karena tertawa dan tersipu malu.

"Sudah, Gus, kasihan Ningnya!" teriak Umi yang duduk di depan berjejer dengan Abi dan Ustaz Ravi. Jika aku mengamati ustaz berwajah tegas ini rasanya tidak asing dan aku menyukai penampilan sederhananya.

"Baiklah, sebelumnya Ning Nora terkena musibah karena gempa kemarin. Jadi, ia harus duduk di kursi roda dan saya minta doanya dari kalian untuk kesembuhan Ning Nora. Mari kita panjatkan doa ... al-fatihah!"

Seketika senyap dan semua orang menunduk hingga surat al-fatihah selesai dibacakan dan Gus Rayhan menyudahi doanya.

"Selesai, baiklah kita langsung saja. Untuk Ning Nora waktu dan tempat saya persilahkan," ucapnya sembari memberikan mic kepadaku. Aku mengangguk dan menerimanya.

"Gus di sini saja," pintaku, ia menurut dan berdiri di sampingku. Sampai salah satu santri mengambilkannya tempat duduk. Aku pun menghela napas panjang untuk memulai.

"Baiklah, perkenalkan saya Nora Vivian Az-Zahra dari Nuarta Network History. Umur saya dua puluh lima tahun dan bekerja sebagai penulis artikel. Nah, kehadiran saya di sini untuk menunaikan keinginan saya mewujudkan cita-cita para santri. Ya, saya percaya meski kalian menempuh sekolah di pondok, tetap bisa bekerja sesuai cita-cita kalian." Aku menjeda, menatap sekilas Ustaz Ravi yang serius mendengarkan. Aku meneguk ludah dibuatnya.

"Seperti yang disampaikan Ustaz Ravi, ilmu dunia dan akhirat harus seimbang. Seperti yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 190-191."

"Inna fii kholqis samaawaati wal ardli wakhtilaafil laili wan nahaari la-aayaatil l-ulil albaab. Alladziina yadzkuruunallooha qiyaamaw wa qu’uudaw wa ‘alaa junuubihim wayatafakkaruuna fii kholqis samaawaati wal ardli robbanaa maakholatqa haaadzaa baathilaa, subhaanaka faqinaa ‘adzaaban naar."

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang