Part 37. Rumpang

8 0 0
                                    

Kenangan kita takkan kulupa
Ketika kita masih bersama
Kita pernah menangis
Kita pernah tertawa
Pernah bahagia bersama
Semua akan selalu kuingat
Semua akan selalu membekas

Lagu itu terputar di ruangan tanpa cahaya, hanya ada seberkas sinar yang menembus jendela dengan panjang dua meter dan tirai putih itu. Menjadi peneranganku kala berdiri di balik tirai dengan pandangan sendu keluar jendela. Mata sembabku terasa perih saat terkena silai sinar mentari, bahkan kelopaknya masih nyeri karena menangis.

Bukan hal yang mudah menahan tangis saat semua memori indah berdatangan satu per satu, sedangkan sosoknya telah meninggalkanku setelah memberikan masa depan yang cerah. Rasanya ingin menyerah, lagipula aku bisa berdiri dan mencintai diri sendiri karenanya. Bagaimana rasanya jika kau kehilangan support system? Seseorang yang benar-benar mendukung dan menemanimu dari nol, lalu saat berada di puncak untuk memadu kasih di atas altar ia malah pergi untuk selamanya ....

Aku kehilangan napas rasanya di ruang kerjaku sendiri. Memutar lagu berjudul Aku Pergi oleh Alika setelah ost Galih dan Ratna tentang kisah cinta SMA terputar. Masih terbayang olehku, ia ada di sini mendampingiku menyelesaikan artikel hingga larut malam. Tawa dan senyumnya ketika aku mengejarnya karena kesal. Laki-laki dengan kaos putih dan pantsuit hitam itu terasa masih berlarian di sana, berkeliaran ke sana kemarin, bertanya ini itu sambil tersenyum.

Tawaku terdengar saat menyadari rindu paling berat adalah merindukan seseorang yang telah tiada. Aku tak bisa mencarinya meski ke ujung dunia, selain memutar kembali semua kenangan yang ada di pikiranku. Anehnya, hal itu semakin menyakiti hatiku. Benar-benar rindu yang tak akan sembuh oleh waktu, tak akan terobati.

"Nazilllllll!" teriakku sekerasnya disusul tangis histeris hingga aku membungkuk dan air mata mengalir. Ruangan ini seakan menjadi diary depresiku dan ruang rindu ini.

Ceklek!

Kriettt!

Suara pintu itu terbuka, aku tak ingin menoleh maupun mengetahui siapa orang yang masuk. Hingga suara pantofel terdengar dan pintu kembali tertutup. Sosok itu dari suara sepatunya mendekat ke arahku, hingga aku meliriknya yang berdiri di sampingku.

Seorang pria dengan kaos putih, celana hitam, dan cardigan warna hitam bergaris putih di lengannya. Tak lupa kacamata yang sangat kukenali meski dari samping saja. Senyum terukir di bibirnya, pria paruh baya itu memandang keluar dan sedikit membuka tirainya. Hatiku bergetar bersanding dengan seorang ayah yang kehilangan sang putra, benar itu ayah Nazil.

"Putraku, ya?" Kalimat itu menjadi pembuka cerita yang hangat dari seorang ayah.

"Ayah!" Seorang laki-laki berumur tujuh belas tahun berlari ke pangkuan sang ayah. Ia berbaring di kursi dengan kepala bersandar di bahu sang ayah. Dalam posisi miring, air matanya jatuh ke celana pantsuit tua milik ayahnya, kian lama kian terasa basah. Hingga sang ayah yang semua acuh memainkan ponsel meliriknya.

"Kenapa?" tanyanya dengan angkuh. "Lemah!" serunya saat memegang bahu sang putra dan mengetahuinya sedang menangis.

Siswi SMA itu segera bangun, duduk menghadap sang ayah. "Aku merindukan Ibu, ia memarahiku persis seperti ibu," isaknya.

"Berceritalah dengan jelas!" tegas sang ayah.

"Aku memberinya tugas untuk liputan di dua acara, harapanku agar ia meminta bantuan lainnya. Tapi, ia malah mengerjakannya sendiri dan memarahiku," ungkap laki-laki yang tak lain adalah Nazil. Ia memang sensitif saat itu berkaitan dengan sang ibu, bahkan langsung berubah manja, menjadi lebih rapuh, dan sering mengadu pada sang ayah tentang itu.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang