51. Kepribadian Ganda

11 0 0
                                    

"Suamiku," panggilku dari lantai atas setelah bersih-bersih kamar di sana. Di lantai dua dari rumah ini terdapat tiga ruang yang kamu bagi menjadi ruang sholat, ruang kerja, dan ruang belajar sekaligus perpustakaan untukku. Sedangkan kamar kami ada di lantai bawah dengan dapur dan ruang tamu. Meja makan berada di dapur yang cukup luas.

Ada satu lagi ruang untuk penyimpanan barang, di sanalah suamiku berada. Ia bilang ingin menyingkirkan beberapa barang pemilik dulu yang tertinggal dan alat lukisnya di sana. Namun, sudah beberapa jam tak ada suara dari sana. Bahkan, suasana begitu hening dan tak ada jawaban dari panggilanku.

Aku pun melangkah menuruni tangga dengan ragu, lalu menuju ruangan di bawah tangga dengan pintu kayu itu. Tak ada suara dari dalam sana, tetapi saat kuedarkan pandangan tak ada Agatha di mana pun yang berarti suamiku itu masih di dalam sana.

"Sayang, kamu di dalam?" tanyaku sambil mengetuk pintu.

Brakkk!

"Sayang?!" Aku panik bukan main saat mendengar barang jatuh dengan suara keras.

Dok! Dok! Dok!

Kugedor pintu dengan kencang saat kesulitan membukanya, sepertinya itu dikunci dari dalam.

"Akhhhh!"

"Pergi!"

Jeritan dan tangisan terdengar dari dalam. Panik menyerangku seketika, bagaimanapun ia suamiku. Dan apa yang terjadi di dalam? Apa yang terjadi padanya?

Pyarrrr!

Brakkk!

Segala dari dalam semakin membuatku panik, aku menelan ludah, lalu memandang sekeliling untuk menemukan benda yang bisa berguna. Kursi.

Jedakkk!

Kubanting kursi ke pintu di hadapan dengan napas terengah setelah mundur agak jauh dan berlari dengan cepat. Begitu terbuka kuedarkan pandangan. Semuanya sudah kacau balau. Suara berisik dari bawah yang kukira ia membereskan dan menata barang di gudang ternyata salah. Semuanya berantakan.

Barang-barang berjatuhan, bahkan pecahan kaca dari lemari pemilik rumah menghias pantai. Hal yang sama juga terjadi pada tinta, bahkan kanvas itu robek seperti disayat benda tajam. Napasku tercekat sampai melihat seseorang di pojok ruangan yang menangis histeris, tangannya dipenuhi tinta, ia meringkuk dan menutup telinganya.

"Suamiku?" Hanya itu yang bisa terlontar dari bibir. Panggilan itu pula yang membuatnya memandangku dengan mata merah penuh dendam. Kukumpulkan keberanian untuk menghampirinya, duduk di hadapan untuk menenangkannya. Dengan tatapan sendu kutatap matanya yang penuh amarah, hingga kristal bening menutupi netraku.

"Kamu kenapa?" tanyaku sembari meraih lengannya.

Brakk!

"Akhhh!" pekikku saat tubuh terdorong ke lantai. Mataku langsung menatap tajam laki-laki di hadapan. "Agatha! Apa yang terjadi padamu?" tanyaku dengan nada cemas.

Perlahan ia bangkit, mataku tertuju pada tangannya yang memegang serpihan kaca agak panjang.

"Bohong! Kau mencintainya, kan? Kau tidak mencintaiku!" teriaknya histeris sembari mendekatiku. Satu kakinya bersimpuh ke lantai kayu ruangan ini. Sedangkan kaki kanan membentuk siku-siku. Ia mengarahkan potongan kaca itu padaku dan terus mendekatkan wajahnya.

"Kau bukan Agatha," lirihku sembari menggeleng, tak terasa air mata membasahi pipi hingga tawa keras menggelegar.

"Hahahah kau juga bukan Noraku yang dulu! Kau berubah, kau tidak mencintaiku! Tidak, kau memang bukan Nora sejak awal! Kau pembohong!" teriaknya yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi seakan ingin menancapkan serpihan kaca dalam-dalam ke tubuhku.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang