"Aku bersyukur mengenal mereka walau merasa aneh, hatiku bahagia rasanya, ah!" Aku merentangkan tangan karena lega, lalu berbalik kembali untuk latihan berjalan. Aku mendorong kursi roda mendekati air mancur, memberi jarak sekitar satu meter guna berjalan.
Jarak yang begitu dekat akan memudahkanku latihan sendirian. Untuk awalan kugerakkan pergelangan kaki terasa sakit hingga aku memekik, "Akh! Ya Allah aku harus kuat menahannya."
Mencoba menahannya dengan menggigit bibir bawah, lalu menurunkannya perlahan. Kemudian, menghela napas dan berpegangan kuat-kuat pada lengan kursi roda. Baru aku memberanikan diri menginjakkan kaki kanan yang terluka ke tanah.
"Ya Allah kenapa sesakit ini? Nora pasti kuat kan?" Aku menggeleng dan menggigit bibir bawah, lalu mencoba berdiri.
"Ah, berhasil berdiri. Ini pasti mudah selanjutnya," gumamku sembari memajukan kaki kanan selangkah. Berhasil meski dengan susah payah, kemudian kumajukan kaki kiri. Namun, tak semudah yang dibayangkan.
"Akh!" pekikku saat kaki kanan tak bisa dijadikan penopang berat badan dan rasa sakit mendera.
"Ning!" teriak seseorang saat tubuhku limbung ke belakang, sontak aku pun melirik kursi roda untuk meraihnya, tetapi terlambat.
Deg!
Jantungku berdebar hingga kupejamkan mata, tak bisa dibayangkan rasa sakit saat jatuh ke tanah. Namun, posisi ini? Aku terduduk di kursi roda.
"Ah, jantungku," ucap seseorang. Seketika aku membuka mata, lalu menoleh mendapati Gus Rayhan di belakang sembari memegangi pegangan kursi roda. Aku mengembuskan napas lega, sepertinya ia mendorong kursi roda tepat ke arahku sebelum aku jatuh.
Aku menepuk dada--mencoba menenangkan diri sebelum suara itu membuatku merasa bersalah.
"Ning! Jangan memaksakan diri, kalau kakimu malah patah bagaimana? Bahaya berlatih sendirian, apa kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku? Hah? Sedari tadi aku mengawasimu dari belakang, astaga, kau keras kepala!" geram Gus Rayhan yang membuatku menunduk gelisah.
"Sa-sakit Gus, sangat sakit," rengekku.
"Di mana Ning yang sakit? Apa perlu--"
"Di sini," ucapku sembari menunjuk dadaku. Aku melihat raut wajahnya yang tadinya cemas kini berubah menjadi muram, ia menghela napas.
"Kalau kakinya sakit saya panggilkan dokter mau?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Tidak, Gus, kalau begini saja aku paham. Kakiku yang terluka, terkilir, sepertinya perlu dikompres es batu," ucapku yang membuat Gus Rayhan kembali mengembuskan napas berat.
"Ya sudah, sekarang mau kembali ke dalem?" tanyanya. Dengan cepat aku menggeleng.
"Masih mau jalan-jalan di sini, Gus. Bosan di dalem," ungkapku, tetapi pandangan Gus Rayhan jatuh ke saku jasku.
"Dengerin ngaji qiro'ah, Ning?" tanya Gus Rayhan sembari mengambil ponsel di sakuku. Ya, sedari tadi aku memang mendengarkan bacaan al-qur'an dari pemutaran musik sejak Ustaz Ravi pergi.
Aku mengangguk, "Iya, Gus sekalian belajar ... pasti pas ngaji suaraku fals, ya?"
"Tidak, Ning, suaramu masih bagus," ungkapnya sembari mencebikkan bibir dan fokus mengotak-atik ponselku. Tak berani merebut, aku hanya meliriknya.
"Kenapa, Gus?" tanyaku. Merasa ada yang salah dengan ponselku hingga membuatnya menekuk wajah.
"Tidak ada, ini kalau mau belajar mengaji unduh aplikasi al-qur'an online dulu. Biar Ning belajarnya enak, dari dasar dulu dong, Ning," protesnya sembari memberikan ponselku. Hingga bacaan al-Qur'an terputar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dari Masa Lalu
Teen FictionNora Vivian Az-zahra seorang penulis artikel blog di perusahaan berita terbesar di kotanya. Tak lupa pula dukungan temannya yang bernama Nazil Zikri Nuarta sejak SMA. Nazil sendiri adalah putra dari pemilik perusahaan Nuarta History Network. Keduany...