Part 34. Rumah Singgah

8 0 0
                                    

"Kau tidak merindukanku?" tanya Nazil sembari tersenyum dan menatapku.

"Merindukanmu?" godaku sembari menaikkan alis dan memandangnya.

"Ah, kenapa aku berpikir kamu merindukanku? Sudah ada Gus Rayhan bersamamu," cetusnya sembari melipat tangan dan melihat ke luar jendela.

Aku dan Aletta yang berada di pangkuanku saling memandang lalu tersenyum. Kami bertiga duduk di kursi belakang dan ada sopir di depan. Jadi, kami bebas bersenda gurau.

Kini, tanganku meraih tangannya untuk kugenggam.

"Nazil, kamu paling tahu kamulah rumahku. Sejauh mana aku berlari tetap padamu aku kembali, bercerita tentang hari ini, dan menangis di pelukanmu. Bagaimana seorang Nora tanpa rumah terhangatnya?" tanyaku yang membuatnya menahan senyum tanpa menoleh ke arahku.

"Nazil Dzikri Nuarta," panggilku sembari menarik tangannya dan menggenggamnya sepenuhnya. "Seberapa besar cintamu padaku?" tanyaku. Aku yang bertanya, tetapi aku juga yang tersakiti.

"Masihkah itu perlu ditanyakan? Kau tahu aku sulit menjelaskan," jawabnya.

Hanya bisa kutundukkan pandangan dan tersenyum, "Bagaimana kalau aku ingat masa laluku? Aku ingat cinta pertamaku dan ingin kembali padanya," ungkapku.

Hanya senyum yang ditunjukkan Nazil sebagai respons. "Jika itu Gus Rayhan, aku akan merelakanmu. Karena yang terbaik bagiku adalah kebahagiaanmu, tapi aku cukup tahu bukan masa lalu yang kamu inginkan," ungkapnya sembari menatapku sendu.

"Kau tidak sayang padaku? Kau rela melihatku menikahi orang--"

"Bukan menikahi orang lain, tetapi menikahi laki-laki yang kamu cintai. Aku bisa menjagamu dari jauh, Nora. Kamu pun cukup tahu selama ini, selama ada kami di sini tidak ada lagi Nazil Dzikri yang friendly dan baik hati pada banyak perempuan. Tidak bisa kutemukan cinta setulus cintamu," tuturnya meyakinkanku.

Tangannya membelai pipi dengan lembut, "Jika Gus Rayhan yang taat agama, laki-laki baik, mencintaimu dengan tulus, bisa membimbing dan memperlakukanmu dengan baik aku rela melihatmu bahagia bersamanya."

"Tak akan bisa kutemukan cinta setulus dan seserius dirimu. Kamu dan caramu mencintaiku tak akan terganti," ungkapku. Nyatanya jantungku masih berdebar saat memandang wajahnya, menggenggam tangannya, semakin tak karuan mendengar kata cinta darinya.

"Aletta mau tidul dengan Papa Nazil!" protes Aletta yang merangkak ke pangkuan Nazil secara tiba-tiba.

"Baiklah, sekarang sayangnya sama Papa Nazil enggak ke aku. Enggak rindu Kak Nora?" tanyaku sembari menoel pipi Aletta. Gadis kecil itu sudah berada di pangkuan Nazil.

"Aletta juga lindu Mama Nola!" cebiknya sembari merentangkan tangan.

Aku menggendong dan menciumi pipi gembulnya. Gadis itu hanya membuka mata sedikit dan mengangguk, benar-benar mengantuk.

"Anak Papa gemoy sekali, sih!" Gemas Nazil yang mencium pipi Aletta yang kuangkat tinggi-tinggi.

"Senang kalau Tuan Muda dan Nona seperti keluarga cemara," cetus Pak Sopir sembari tersenyum.

"Ya, lihatlah tante dan ponakannya ini sangat mirip, Pak. Pasti nanti akan ada lagi Nora kecil di rumahku," sahut Nazil sembari memandangku.

"Nazil!" geramku yang membawa Aletta ke pelukanku lalu mencubit lengan laki-laki itu. Begitulah tawa memenuhi seisi mobil.

***

"Asalamualaikum, Calon Imam," sapaku saat laki-laki dengan kemeja putih itu membuka matanya, mungkin pandangannya masih samar. Terlebih tangan kecil Aletta terentang di atas wajahnya.

Cinta Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang