"Imam dari masa lalu ...," gumamku membaca judul novel yang tergeletak di meja. Suasana ini ... semilir angin dari luar menggoyangkan tirai di putih di balik jendela. Sedang di nakas, tempat novel ini berada ada al-Qur'an dan dua kitab yang ditata berdiri--bersandar pada dinding. Tak lupa vas bunga berisi aster putih dan merah. Kusentuh perlahan hingga angin kembali berembus, dingin ke kulit.
"Ning," panggil seseorang dari arah pintu. Aku menoleh, mendapati sosok dengan gamis coklat muda dan kopyah putih. Samar wajahnya, bahkan aku tak mengenali laki-laki itu. Hanya senyumnya yang terkembang dan terekam di otakku.
"Gus," panggilku saat terbangun dari mimpi aneh itu. Saat aku membuka mata dan menegang, kusadari itu hanyalah mimpi. Aku segera menoleh ke arah pintu, tak ada siapapun di sana bahkan masih tertutup. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamar. Tak ada siapa pun, aku masih di pondok, di kamar yang kutempati. Aku tertidur? Pandanganku langsung tertuju pada laptop di pangkuan. Kuhela napas menyadari telah ketiduran saat menulis artikel.
Kuregangkan tubuh, mengangkat tangan ke udara, lalu memiringkan ke kanan dan ke kiri secara bergantian. "Hoamm!" uapku, kemudian menyudahi kegiatan di kamar.
Kini, beranjak ke dapur melihat beberapa santriwati memasak di sana. Berlanjut ke belakang, aku sampai pada halaman belakang dalem di mana Gus Rayhan sedang memberi makan kambing.
"Gus," sapaku ragu. "Abah di mana?" tanyaku cepat agar ia tak canggung dan menghindar. Walau Abah hanyalah alasanku untuk basa-basi dengannya.
Gus Rayhan menghentikan kegiatannya, lalu menoleh dan tersenyum.
"Di dalam kandang, Abah masih ngurus kambing kesayangannya yang mau lahiran, Ning. Ada apa?" tanyanya masih ramah.
Aku tersenyum lega karena ia tak bersikap dingin dengan tujuan untuk menghindariku dan menjaga hatinya. "Syukurlah," ucapku secara spontan, tanpa berpikir panjang.
"Syukur karena kambing kesayangan Abah mau lahiran?" tanya Gus Rayhan sembari menaikkan alisnya.
"Astagfirullah!" peringatku sembari memukul mulut sendiri karena salah berucap dan membuat Gus Rayhan salah paham.
"Maksudnya? Ning kenapa?" tanya Gus Rayhan.
"A-anu ... ah itu tadi artikel yang diminta Abah belum selesai karena saya ketiduran," ungkapku asal sembari tersenyum tak enak.
"Jadi bersyukur karena?"
"Duh! Kenapa Gus Rayhan malah interogasi?" rutukku dalam hati. "Karena saya masih ada waktu buat selesaiinnya, saya pamit, asalamualaikum." Tak ingin semakin salah dan kesulitan mengelak, aku berniat pergi. Akan tetapi, suara Abah menghentikan saat baru saja berbalik.
"Nak Nora!" panggil Abah yang menyembul keluar dari pintu kandang berbahan bambu itu.
Dengan ragu aku menoleh, meringis ke arah Abah. Sedangkan Gus Rayhan menggaruk tengkuk.
"Dalem Abah," jawabku sembari menunduk.
"Artikelnya sampun? Sekarang bantuin Umi, Nduk. Panen bunga sendiri di belakang." Abah memberi penuturan sembari berjalan keluar dari kandang dengan membawa sapu dan beberapa gagang stek.
"Nggih, Bah," ucapku patuh dan membungkuk sambil berjalan ke belakang. Ke taman bunga yang agak jauh dari kandang kambing, lebih tepatnya taman itu ada di depan surau milik Abiku dulu.
"Ning," panggil Gus Rayhan yang menghentikan langkahku.
"Iya?" tanyaku sembari menoleh.
"Baru bangun belum makan, kan? Bawa makanan dan minuman dari dalem dulu," tegur Gus Rayhan yang kuangguki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dari Masa Lalu
TienerfictieNora Vivian Az-zahra seorang penulis artikel blog di perusahaan berita terbesar di kotanya. Tak lupa pula dukungan temannya yang bernama Nazil Zikri Nuarta sejak SMA. Nazil sendiri adalah putra dari pemilik perusahaan Nuarta History Network. Keduany...