Prolog

28 7 2
                                    

Pukul 2 dini hari.
Aku menulis ini pukul 2 pagi, tidak sengaja terbangun dan tidak bisa kembali tertidur.
Sama seperti jatuh hati pada mu, yang ketika aku terjatuh. Kaki ku tidak bisa kembali bangkit untuk pergi. Aku terlanjur jatuh di perangkap itu. Perangkap bernama kenyamanan.

Semesta, aku siap.
Aku siap merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga buku demi buku. Sampai sejauh itu karena untuk menceritakan mu aku butuh banyak waktu. Hanya karena dan untuk kamu.

Dan ya, Semesta .... Aku selalu mau menceritakan mu kepada banyak orang. Kepada banyak manusia-manusia berakal di bumi ini. Mengenang rasa-rasa itu buat ku sangat menyenangkan. Tidak pernah sekalipun ku sesali rasa-rasa besar itu.

---

"Apa cita-cita kalian?" Guru bahasa Indonesia bertanya kepada seluruh isi kelas. Murid-murid mulai berbisik, membicarakan cita-cita masing-masing atau sekadar terdiam dan berfikir .... "Mau jadi apa aku sudah besar nanti?"
Ah, tidak! Murid-murid ini bahkan sekarang sudah besar. Bukankah siswa kelas 2 SMA sudah termasuk usia remaja? Berarti mereka sudah besar bukan?

"Hahaha, kalian kelihatan bingung sekali ya.... Pertanyaan seputar cita-cita dan mimpi-mimpi besar di masa yang akan datang memang membingungkan. Jika kita memberi tahu seluruh dunia mimpi yang besar, maka seluruh dunia akan berharap besar pula pada kita. Itu hal yang besar! Ungkapkan saja. Jangan pernah ragu untuk menjadikan nyata mimpi-mimpi itu." Guru bahasa Indonesia kembali memberikan wejangan untuk anak muridnya.

Seper-sekian detik kemudian lonceng sekolah berbunyi. Jam pelajaran telah usai.

"Di pikirkan yang matang, mau jadi apa? Besok ibu tanyakan kembali." begitulah kalimat penutup yang di sampaikan Bu Asti. Guru favorit ku. Ya, guru bahasa Indonesia.

Aku bergegas menggendong tas, tidak ada jadwal piket. Aku ingin segera pulang untuk merebahkan tubuh. Segera ku berlari keluar kelas, melewati lapangan sekolah yang mulai ramai oleh siswa.

"Gadis!" pria itu memanggil ku, aku mencari sumber suara, ketemu. Setelah itu aku terdiam, hanya menatapnya dari jauh. Tidak bereaksi apapun karena tidak tau harus apa. Pria itu kemudian melangkah mendekati ku, sesekali ia betulkan posisi kacamata yang bertengger di batang hidungnya itu.

"Bareng ya" katanya setelah posisinya bersampingan dengan ku. Aku reflek mengangguk.

Kami berdua berjalan berbarengan, sekolah kami luas. Dan kelas ku dan pria bernama Semesta di samping ku ini sangat jauh dari gerbang sekolah. Oh ya! Belum ku kenalkan. Namanya Semesta, Semesta Hadinata. Ia teman sekelas ku.

Sepertinya aku juga belum berkenalan ya? Aku Gadis. Iya, nama ku Gadis. Tidak perlu repot-repot menceritakan siapa aku, Semesta akan menceritakan ku.

"Apa cita-cita mu, Dis?" celetuk Semesta tiba-tiba.

"Menjadi penulis" kata ku mantap.

"Keren! Buatlah cerita tentang ku!" katanya terpukau, kemudian langkahnya terhenti. Aku jadi ikut-ikutan menghentikan langkah.

Aku menatap matanya yang terhalang kaca mata, mata indah itu .... Keempat mata kami bertemu.
"Buatlah cerita untuk ku Dis, aku berjanji akan membacanya" katanya lagi sambil menatap ku. Ia kemudian melangkah pergi. Aku masih terdiam, memikirkan kalimat permintaannya .... Ia pikir membuat cerita tentangnya semudah membeli kerupuk??

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang